Press ESC to close

Mereka yang Melampaui Waktu, Budaya dan Perokok Perempuan

Merokok bukan hanya pekerjaan yang boleh dilakukan oleh lelaki, karena rokok tidak memiliki jenis kelamin. Siapapun dapat menikmati sensasi merokok. Tanpa melihat dia lelaki, perempuan, gay, atau lesbian.

Suatu minggu yang cerah di Cafe Labuana, saya dan teman sedang menikmati kopi sambil bercerita tentang keadaan politik setelah pemilihan legislatif. Selang beberapa waktu, tiga perempuan juga berkunjung dan duduk beberapa meja dari kami. Salah satu dari mereka kemudian membakar rokok. Teman saya tiba-tiba memandang aneh perempuan itu. Sambil memegang cangkir kopinya, dia berkata, dasar perempuan nakal.

Saya tidak menyangka teman saya akan berkata seperti itu. Sambil memandang lekat matanya, saya menimpali, “Wah, hebat yah tanggapanmu tentang perempuan yang merokok, Mengapa kau menyebut dia perempuan nakal?” tanyaku.

Dia kemudian menjawab, “Apa perempuan itu tidak sadar kalau dia merokok, maka kesehatan reproduksinya akan terganggu, dia juga dapat terkena penyakit kanker rahim. Lagian, kalau dia merokok, pandangan orang-orang awam pasti akan menuduh dia nakal.”

***

Dari diskusi kecil-kecil itu, saya menarik kesimpulan sederhana, bahwa masih ada orang yang saat melihat perokok perempuan, maka ia akan menuduhnya nakal. Meskipun tidak bisa dijadikan sebagai acuan, tapi dibeberapa kesempatan saya juga masih mendengar pernyataan seperti itu. Mengganggap perempuan yang menikmati rokok sebagai tindakan yang buruk dan tidak wajar.

Kata nakal di sini juga tidak dapat dijelaskan. Nakal dalam artian apa yang dimaksudkan oleh teman saya. Karena ketika saya tanya maksud nakal itu, ia hanya jawab, “Yah karena dia berani merokok di depan umum dan menghiraukan kesehatannya nanti.”

Tentu tulisan ini bukan penelitian yang menggunakan data akurat untuk membuktikan kebenarannya. Hanya saja, fakta bahwa masih ada pandangan buruk tentang perokok perempuan ini nyata. Akhirnya saya mencoba mencari solusi untuk menjawab soal pendangan ini. Saya bertanya langsung ke beberapa teman perempuan yang merokok. Semoga dari situ saya dapat menarik benang merahnya.

Baca Juga:  Belajar Dari Pengalaman Masa Kecil Sule dan Rokok

Di sebuah perpustakaan, saya bertemu dengan seorang teman bernama Mawar. Ia perempuan yang juga senang merokok. Saya mencoba bertanya tentang hal yang sama, bagaimana perasaan anda jika merokok ditempat umum? Dia menjelaskan bahwa biasa saja, meskipun memang masih ada mata yang memandanganya aneh. Saya kemudian bertanya, manfaat apa yang ia dapatkan jika merokok, kebetulan ia bekerja sebagai penyiar di salah satu radio komunitas, ia menjelaskan bahwa kalau ia merokok, maka suaranya akan bagus.

Entah ini benar atau tidak, tapi Mawar menjelaskan itu kepada saya. Saya kemudian menanyakan, jika ada lelaki yang memandang bahwa perokok perempuan itu nakal, apa tanggapan anda? “Yah, itu mungkin lelakinya saja yang tidak paham bahwa merokok telah menjadi kebutuhan, bukan hanya pada lelaki, tapi juga perempuan.” Saya kembali bertanya, tapi kalau soal kesehatan, bagaimana? Mawar menjawab dengan senyum ikal, “Saya seorang Ibu, punya anak yang baru berusia enam tahun, tapi syukur anak saya sehat dan tidak pernah mempermasalahkan kalau ibunya merokok. Sehari-hari saya juga bersyukur karena tidak merasa terganggu oleh asap rokok.

Saya bertanya hal yang sama kepada Vivi, seorang mahasiswa yang juga perokok. Dia menjawab, saya masih malu kalau merokok di tempat umum. Dia tidak menjelaskan alasannya secara lengkap.

Eka Besse Wulandari juga saya tanya soal perokok perempuan. Eka, penikmat rokok yang baru saja menyelesiakan strata satunya di Fakultas Ssastra ini menjawab, “Kalau saya sih biasa saja. Tidak perlu merasa keberatan dengan pandangan lelaki soal perekok perempuan. Buat apa mendengar ocehan seperti itu. Jangankan lelaki, perempuan sendiri juga kadang memandang perempuan yang merokok itu tidak wajar. Tapi tuhan menciptakan ribuan mulut dan dua telinga. Kita tidka bisa menutup semua mulut, tapi kita bisa menutup telinga. Hidup ini perlu dinikmati.

***

Beberapa teman lelaki yang memiliki pandangan buruk terhadap perokok perempuan kemudian saya ajak untuk menonton film Mereka yang Melampaui Waktu (MYMW), di salah satu kampus. Kebetulan, kegiatan Beranda Budaya mengadakan pemutaran film dan dipilihlah film tersebut. Berdurasi sekitar 30 menit, film itu memperlihatkan bagimana lelaki dan perempuan yang telah berumur tujuh puluh sampai delapan puluh tahun masih sehat dan beraktivitas seolah ia masih muda.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik, Aktivis Anti Rokok Sudah Siap Gulung Tikar?

Setelah menonton film MYMW, diskusi soal rokokpun dimulai. Teman yang saya ajak terlihat antusias. Ia mulai membuka pikirannya dan akhirnya sadar bahwa rokok dapat dinikmati oleh semua kalangan. Ia juga sadar, betapa rokok juga memiliki manfaat kesehatan. Tentu, selain budaya dan ekonomi.

Salah satu yang menjadi bahan diskusi adalah dipilihnya rokok sebagai benda wajib yang dibawa jika berziarah ke makam tua. Seperti di kampung saya, Takalar – dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan, rokok dijadikan salah satu pelengkap jika berziarah ke makam tua ataupun tempat-tempat yang dianggap keramat. Rokok yang dibawa itu diletakkan dekat nisan atau di bawah pohon.

Ini membuktikan kaitan rokok dengan kehidupan berbudaya kita sangatlah erat. Meskipun diakhir diskusi tidak ada yang berani menyimpulkan apa maksudnya. Ini mungkin disebabkan karena kurnagnya, ataubahkan tidak ada penelitian soal itu.

Saat kami berdua pulang, ia kemudian memberikan penjelasan kepada saya, “Yang penting sebenarnya adalah etika merokok. Tentu gaya hidup sehat juga perlu.” Saya membenarkan, apapun yang berlebihan dan tidak diimbangi pasti akan berdampak buruk. Bahkan jika seseorang tiap waktu hanya beribadah dan tidak memikirkan kesehatannya tentu akan berdampak buruk.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara