Press ESC to close

Kecap, Kretek, dan Rekayasa Regulasi

Tulisan ini tidak sedang membahas kecap sebagai sebuah produk berbahan baku kedelai yang berwarna coklat kehitam-hitaman itu, tetapi kita sedang membicarakan kecap sebagai istilah dalam dunia periklanan. Mengapa kecap menjadi dominan untuk dirujuk dunia periklanan? Karena kecap adalah pelezat setiap masakan, maka pengandaian produk sebagai sebuah hasil masakan akan makin lezat jika ditambahi kecap.

Dunia periklanan di Indonesia mengenal istilah kecap sebagai lambang superioritas dan kualitas bermutu atas produk lainnya. Dimana dan kapan istilah ini dimulai belum ditemukan data yang pasti. Istilah ini berawal pada penggunaan merk yang merujuk pada kata nomor satu pada semua produk kecap. Tidak ada merk kecap yang merujuk pada kata selain nomor satu.

Dan itulah iklan di Indonesia. Semua menyatakan sebagai nomor satu, tidak yang lain. Seolah-olah hanya dia yang layak sebagai nomor satu tanpa bisa dikalahkan oleh yang lain. Seolah tidak berlaku lagi ajaran adiluhung “Menang Tanpo Ngasorake”. Menang tanpa merendahkan. Itu adalah prinsip pertama yang harus dijunjung untuk mendorong kemajuan yang lain dalam kompetisi.

Karena itulah, budaya periklanan Indonesia tetap memegang prinsip kecap dalam penyajiannya. Dalam kompetisi untuk merebut hati konsumen, cita rasa yang lezat menjadi kunci. Dan disanalah, kemampuan untuk meramu masakan dengan takaran kecap menjadi penting, dan dibutuhkan sebuah aturan bernama resep yang menjadi acuan.

Baca Juga:  Harga Tembakau Turun Bukan Berarti Petani harus Beralih Tanam

Di negeri ini berlaku kaidah yang sudah disepakati sebagai rambu-rambu dalam dunia periklananan yang dikenal dengan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Dalam kaidah itu, diatur bagaimana iklan dapat menjadi cermin dari budaya masyarakat Indonesia. Karena, melalui iklan ini, nantinya produk-produk akan disuguhkan kepada masyarakat.

Selain EPI, terdapat pula regulasi per-kecap-an yang yang mengatur produksi dan peredaran iklan, terutama untuk produk-produk yang mengandung resiko dari sudut pandang kesehatan. Kretek sebagai produk khas dari negeri ini adalah salah satu produk yang masuk kategori tersebut.

Iklan berperan besar dalam penyuguhan merk produk kepada publik, termasuk produk kretek. Dalam hal ini, iklan kretek pun menggunakan konsep kecap, menyajikan diri sebagai produk kualitas nomor satu. Sebagaimana kecap yang menampilkan diri sebagai proses racikan pas yang menghasilkan makanan lezat, kretek pun menampilkan proses kreatif yang menghasilkan iklan yang memukau.

Karena biar bagaimanapun, kecap bukanlah oli. Meskipun sama berwarna kehitaman, oli dirujuk sebagai benda tidak berbahan baku kedelai serta tidak berasa manis. Disanalah kreatifitas pembuat iklan kretek diuji. Bagaimana mereka bisa meracik kecap berkualitas tanpa menggunakan kecap.

Baca Juga:  Ganjar Pranowo Kunjungi Djarum dan Gudang Garam

Perbincangan dalam dunia perkecapan di negeri ini kembali marak setelah pada tanggal 9 Oktober 2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada perubahan atas regulasi sebelumnya untuk menayangkan iklan kretek di televisi. Dalam putusan bernomor 71/PUU-XI/2013 ini mengukuhkan bahwa kretek sebagai produk legal tetap boleh diiklankan. Upaya merekayasa regulasi kecap ditolak mentah-mentah.

Hal ini harus disambut bukan saja sebagai pengakuan atas eksistensi dalam penyajian kretek sebagai sebuah produk, tetapi pengakuan atas proses kreatif yang telah dilakukan siapapun dalam menjaga formulasi kecap tetap kecap bukan oli. Penghargaan atas proses kreatif dan apresiasi akan sebuah karya tidak bisa dibatasi oleh nilai sebuah produk bahwa ini adiktif atau bukan selama masih menjadi produk legal menurut ketentuan regulasi yang berlaku.

Akhirnya hanyalah harapan bahwa kretek tetap menjadi kretek dan kecap itu tetap kecap bukan oli.

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Bersama teman-teman merayakan kemerdekaan