Olahraga dan tembakau memang tak bisa dipisahkan. Banyak cabang olahraga seperti Bulu Tangkis dan Sepak Bola yang hidup bergandengan tangan bersama tembakau. Posisi tembakau dalam hal ini adalah bantuan pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan olahraga baik dalam pembinaan ataupun kompetisi.
Namun seiring berjalan waktu, regulasi-regulasi soal tembakau semakin memisahkan kedua hal tersebut. Perusahaan rokok tidak lagi diizinkan memberi sponsoring terhadap klub-klub sepak bola, tidak lagi diperbolehkan membiayai kompetisi.
Padahal, tembakau adalah salah satu pihak ketiga, selain Negara dan cabang olahraga, yang berani mengeluarkan biaya besar untuk kelangsungan kompetisi dan pembinaan atlit nasional. Sayangnya, Negara kini tak hanya gagal memberi anggaran untuk berkembang, tapi juga melarang perusahaan rokok untuk membantu berkembangnya olahraga nasional.
Hal ini memang tak masuk akal. Apalagi konsep regulasi yang menceraikan tembakau dan olahraga justru hadir dari adopsi kepentingan asing. Lagi-lagi kedaulatan tergadai, olahraga terbengkalai, dan tembakau hendak dibantai.
Padahal, sejak dulu cabang olahraga Bulu Tangkis terkenal berkat atlit yang lahir dari PB Djarum. Belum lagi kompetisi nasional yang juga didanai oleh perusahaan Djarum. Namun, kini regulasi yang terkait tembakau yang mengadopsi FCTC berniat memisahkan sejarah panjang hubungan baik tembakau dan olahraga.
Jangan lupa, ketika Indonesia merebut Piala Thomas pada 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia, dari delapan pemain, tujuh di antaranya berasal dari PB Djarum. Ketujuh pemain itu ialah yaitu Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiyanto, Kartono, Heryanto, Christian Hadinata, dan Hadibowo. Itu baru bulutangkis, belum cabang olah raga lain.
Pada Sepak Bola, setidaknya ada beberapa klub olahraga yang hidup bersama industri ini. Setidaknya dulu ada Arema Malang yang hidup bersama Bentoel yang berlaga pada kompetisi liga yang didanai Djarum. Kini, setidaknya terdengar berita jika klub Persik Kediri yang hampir bangkrut bisa bernafas lega setelah Gudang Garam bersedia mendanai klub asal Kediri itu.
Namun perlu diketahui, Gudang Garam tidak memberikan sponsor terhadap Persik, namun biaya yang dikeluarkan perusahaan asal Kediri itu berupa dana bantuan. Istilah akrabnya hibah. Tentu saja, mengingat kini perusahaan rokok benar-benar dipisahkan hingga tak lagi boleh mensponsori kompetisi maupun klub olahraga apapun.
Untungnya, pada tahun 2015 ini Rancangan Undang-undang Pertembakauan telah ditetapkan sebagai prioritas dalam prolegnas. RUU ini sendiri mengakomodasi kebutuhan pihak-pihak yang membutuhkan sponsor agar dapat dibantu oleh industri tembakau. Dan RUU ini diajukan anak bangsayang mengadopsi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat kita. Bukan mengadopsi kepentingan asing.
Semoga, sejarah panjang yang ada antara tembakau dan olahraga tak begitu saja dimatikan oleh kehendak asing. Ingat, bisa saja dibalik semua dalil yang ada dalam FCTC, terdapat niat untuk merusak hubungan antara olahraga dan tembakau di Indonesia. Tinta emas yang ditorehkan atlit-atlit Indonesia tentu tak akan bisa dilanjutkan jika pembinaan talenta muda tidak didukung Negara. Dan jika Negara tidak mampu melakukannya, biarkan pihak ketiga, dalam ini industri tembakau membantu kemajuan olahraga Indonesia.
- Agar Negara Senantiasa Makmur Belilah Rokok Bercukai - 25 January 2018
- Tiga Momen Paling Asyik Untuk Mengisap Rokok - 9 December 2017
- Benar Bu, Rokok Lebih Bahaya dari Narkoba - 5 August 2017