Akhir Februari 2011 silam, Pemerintah Daerah (Pemda) Kudus mendirikan sebuah Lingkungan Industri Kecil Industri Hasil Tembakau (LIK-IHT) di Desa Megawon, Kecamatan Jati, Kudus. Di situ, dibangun 11 gudang produksi (brak) untuk pabrik rokok yang tidak bisa memenuhi syarat batas minimal perusahaan rokok yang harus 200 meter persegi.
Keputusan Pemda Kudus mendirikan LIK IHT itu pun menuai apresiasi. Bagaimana tidak, di tengah dominasi industri-industri rokok kelas kakap di Indonesia, ditambah lagi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2010 soal batas luas bangunan pabrik rokok minimal 200 meter persegi, solusi mendirikan LKI IHT seperti oase di tengah padang pasir.
Apalagi, sebelumnya terdengar pemberitaan soal ditutupnya gudang produksi lantaran gagal memenuhi syarat itu. Keputusan itu pun semakin mengundang decak kagum, karena tak hanya gudang, pendirian LIK IHT juga dilengkapi laboratorium nikotin. Lagi-lagi ini merupakan sebuah terobosan yang patut mendapat apresiasi.
Namun siapa sangka, LIK IHT malah tak ubahnya seperti bumerang yang gagal mengenai sasaran lantas menjadi serangan balik mematikan. Belum lama pasca pendirian LIK IHT, kabar tak sedap kembali berhembus. Rupanya banyak gudang produksi yang tidak ditempati alias kosong. Kabarnya banyak IHT kecil tak mampu membayar uang sewa karena terlalu mahal.
Rupanya, akar persoalannya tak sampai di situ. Pendirian LIK IHT sejatinya diperuntukkan untuk pabrik rokok kecil yang tidak memiliki gudang produksi atau tidak bisa memenuhi syarat 200 meter persegi pabrik. Namun, banyak IHT yang menempati LIK kabarnya sudah memiliki gudang produksi di luar. Alias, target awal untuk menghidupkan IHT kecil tak mengenai sasaran.
Niat untuk menghidupkan, pendirian LIK IHT malah membuat IHT kecil semakin kembang kempis. Bahkan mungkin sekarat. Didirikannya LIK-IHT kini membuat persoalannnya semakin kompleks. IHT kecil bukan hanya dibebani dengan regulasi pemerintah pusat soal batas minimal luas pabrik, namun juga permasalahan sektoral dengan membengkaknya biaya sewa pabrik.
Seperti diketahui, di Indonesia, industri rokok di Indonesia terbagi atas tiga golongan. Pertama, Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan I dengan batas minimal produksi 2 miliar batang ke atas dalam satu tahun. Kedua, golongan menengan dengan batas produksi 500 -1 milliar batang per tahun. Dan ketiga, golongan kecil dengan batas minimal produksi 0 -500 juta batang per tahun.
Persoalan itu membuat pabrik kecil tertimpa beban ganda. Jangankan mendapat keuntungan banyak dari hasil produksi, untuk memenuhi biaya operasional saja sudah untung-untungan. Akibatnya, industri pabrik rokok kecil semakin tersungkur. Saat ini pun sudah banyak IHT kecil yang hanya tinggal papan nama.
Tiga bulan pertama di 2015, Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPP-BC) Madiun, telah menutup dua pabrik rokok golongan III atau Sigaret Kretek Tangan (SKT), yakni Pabrik Rokok Candra Surya Abadi di Desa Babadan, Kecamatan Babadan, Ponorogo dan CV Bina Mitra di Magetan. Meski atas dasar pengunduran diri, rupanya dua IHT kecil itu keputusan itu diambil lantaran tidak bisa memenuhi biaya produksi pabrik.
Inilah dampak dari salah satu kebijakan negara yang mengebiri industri tembakau. Itu baru satu, belum lagi persoalan kenaikan cukai atau gambar seram yang juga menambah beban produksi hingga mematikan ratusan pabrik kretek kecil. Atau memang inilah keinginan negara, mematikan industri kretek di Indonesia.
Jika regulasi terus seperti ini, yang akan tersenyum hanyalah kaum anti rokok, tentu diatas penderitaan ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari industri kretek.
- Agar Negara Senantiasa Makmur Belilah Rokok Bercukai - 25 January 2018
- Tiga Momen Paling Asyik Untuk Mengisap Rokok - 9 December 2017
- Benar Bu, Rokok Lebih Bahaya dari Narkoba - 5 August 2017