Press ESC to close

Tidak Merokok Bukan Berarti Hemat

Selama bulan Ramadan, tingkat konsumsi masyarakat justru bertambah ketika bulan ini harusnya dimaknai sebagai waktunya menahan diri. Di saat masyarakat harusnya bisa menghemat pengeluaran karena tidak lagi menjalani makan siang dan ngemil-ngemil sore hari, pengeluaran justru meningkat. Bukannya bisa menabung, malah tabungan yang dikuras.

Padahal, kalau di hitung secara matematis, pengeluaran harusnya berkurang karena anggaran makan siang dan ngemil-ngemil tidak dipakai. Kalau dipikir pakai logika, ya harusnya kalau anggaran tidak digunakan bisa ditabung, bisa digunakan untuk beli buku pelajaran anak-anak. Itu harusnya loh, kalau cuma dihitung secara matematis dan pakai logika saja.

Lalu, kenapa pengeluaran di bulan Ramadan malah jadi meningkat?

Perkara ini bukan cuma soal inflasi tahunan yang selalu hadir saat Ramadan, tapi juga terkait pola konsumsi masyarakat yang meningkat setiap Ramadan. Setelah menahan diri seharian tidak makan dan minum, masyarakat menuntaskan puasanya dengan mengkonsumsi makanan yang sebelumnya jarang mereka makan. Misal ada anggaran tambahan untuk beli gorengan, es campur, kurma, dan sebagainya. Itu hanya contoh.

Baca Juga:  Rokok Kretek Indonesia Menyebar Di Asia Tenggara

Belum lagi harus dikeluarkannya tambahan anggaran untuk membeli keperluan-keperluan lain untuk hari raya. Menyiapkan jajanan untuk tamu di hari raya, menyiapkan angpau untuk keponakan, beli baju baru untuk anak-anak, tentu adalah hal yang mesti disiapkan. Karena perkara hari raya bukan cuma soal hitung-hitungan matematis dan logis, juga bukan soal kaya miskin.

Begitu pula dengan rokok. Tidak mengeluarkan anggaran untuk beli rokok saat puasa bukan berarti bisa menghemat biaya. Toh kebutuhan yang lain tetap banyak, jadi tidak serta merta akan ditabung. Tidak ada jaminan jika tidak belanja rokok uangnya akan ditabung, tidak menjamin bisa dipakai untuk nyekolahin anak.

Perlu diingat kalau kebutuhan masyarakat itu banyak. Bukan cuma soal beli rokok yang buat mereka nggak mampu nyekolahin anak mereka. Dalam hal seperti ini, kita perlu adil dalam melihat berbagai keperluan masyarakat. Karena, hidup tidak sematematis itu, hidup tidak juga melulu soal logika.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut