“Pikirkan masalah ini lewat kaca mata lain…” ~ Tere Liye
Baiklah Tere Liye. Sebetulnya gue nggak perlu-perlu amat kacamata lain, kacamata gue cukup kacamata hitam anti radiasi (langsung masang kacamata hitam). Begini, bagi gue bisnis teror itu sangat melecehkan kewarasan kita sebagai bangsa. Dari dulu memang, sejarah mengulang tanda yang sama. Teror dicipta untuk mengobrak-abrik nalar publik. Jelas bukan sekadar menyuburkan ancaman. Sehingga kita (baca: konsumen) hari ini mengalami keterbelahan.
Bukan, ini bukan soal teror Sarinah yang lalu. Unyu deh situ. Teror bukan melulu soal bom, perang-perangan, buly-bulyan, atau aksi sok sigap aparat yang menyatroni rumah warga dengan dalih mencari bandar narkoba atau teroris. Yap. Komunikasi adalah drama (Kenneth Burke). Semoga situ sudah khatam soal teori itu.
Muatan bisnis teror yang mau gue bedel di mari menyoal kengawuran nalar situ, postingan di fanpage yang tajuknya bertanda bintang Setia yang dikhianati itu, kocak banget situ membilang begini:
Dan ketika para perokok membela perusahaan rokok akhirnya sakit, siapa yang merawat kalian? Apakah perusahaan rokok peduli ? Apakah mereka mem-bezuk kalian ?
Padahal kalau situ mau lakukan survey serius, tanya langsung ke semua perokok di Indonesia. Termasuk jamaah situ yang perokok. Pastilah jawabannya orang merokok bukan untuk membela perusahaan rokok, bahkan jauh dari yang situ tuduhkan bahwa merokok hanya memperkaya perusahaan rokok. “Wong saya merokok demi kesenangan saya, kok jadi situ yang repot sih…” Nahluh, kalo dijawab saklek gini lagi bijimana?“ Emang kalo sakit gara-gara doyan sate kambing, harus tukang sate atau peternak kambing yang besuk gitu ?”
Eh iya, betewe Bung Darwis, situ pernah belum sih bikin postingan soal peruntungan situ dari kerja bareng penerbit ? Ya sori-sori aja, gue juga baru main ke fanpage situ karena postingan situ yang ngaco menyoal perokok. Apakah situ jadi mendadak kaya (setidaknya deposito di bank agak makmur lah ya) sejak menulis banyak novel atau cuma mengandalkan gaji sebagai akuntan? Bohong ah kalau kerja menulis cuma iseng-iseng aja tanpa motif ekonomi politik dibaliknya. Dari sisi mujur itu penerbit juga jadi kaya kan gara-gara situ, tulis juga dong bahwa situ bahkan butuh menulis sekian ratus novel buat menyaingi kekayaan pemiliknya.
Terus waktu situ sakit, apa penulis populer macam situ dibesuk sama perusahaan komputer? Mosok sekelas akuntan cum penulis nggak tahu dampak dari radiasi gajet yang biasa dipakai. Itu kan radiasinya kenceng dampaknya ke kesehatan. Khususnya dampak ke jaringan otak. Kenapa situ nggak bikin postingan soal itu, misalnya; tahukah kalian, wahai para penulis yang menggunakan komputer merek anu itu radiasinya sangat… Kalau apolojinya sakit itu karena Allah sayang sama kita, wahai om Darwis, sebagai perokok kami juga tahu cara menjaga pola hidup yang seimbang.
Mosok situ belum melek soal bisnis teror yang dimainkan rezim standarisasi. Di Indonesia dikencangkan bunyinya pasca reformasi 98. Bisnis teror yang dilipat gandakan fungsinya lewat berbagai media. Yang paling kentara betul teror yang mendeskriditkan produk konsumsi. Produk-produk sektor usaha lokal diganggu dengan desas-desus akan bahaya kandungannya yang (konon) mengancam kesehatan. Tak cuma rokok (kretek), kerupuk, tahu-tempe, bakso, jajanan pasar, dan lain sebagainya. Siapa korban dari teror itu semua ? Produsen dan kounsumen dalam negeri, saudara sebangsa situ juga lho, Bung. Berapa banyak sudah produk usaha lokal yang gulung tikar akibat bisnis teror itu. Bangun Bung. Pergi sana cuci mata, nggak usah jauh-jauh, ke sentra-sentra industri lokal di kampung situ deh. Kalau situ melihatnya masih pakai kacamata titipan industri kesehatan, ya rabun dekatlah jadinya.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024