Search

Harga Rokok Naik, Aktivis Anti Rokok Sudah Siap Gulung Tikar?

Beberapa hari lalu, saat saya bertandang ke Kantor Redaksi Suara Pesantren, seorang kawan yang kebetulan pernah satu organisasi di kampus berkata serius, akan berhenti merokok apabila pemerintah sungguh-sungguh menaikkan harga rokok. Bagi saya, perkataan kawan itu tak ubahnya sebuah kelakar, karena mana mungkin pemerintah mak ciluk baaa begitu saja mengatrol harga asap kehidupan, tanpa mempertimbangkan babibu yang lain. Tak mungkin.

Namun apa daya, laku berperasangka baik saya ternyata semakin terkikis lantaran akhir-akhir ini banyak orang yang membagikan tautan berita terkait obrolan kawan di atas, sehingga memenuhi beranda facebook saya, dan mau tak mau saya mengejanya. Entah berita dari media mana dan sumbernya bagaimana, yang pasti membaca judulnya saja membuat siapapun yakin bahwa pemerintah akan benar-benar melejitkan harga emas hijau yang dilinting buruh pabrik itu.

Meminjam bahasanya Mas Kafil Yamin, seorang editor media ternama, masyarakat kita memang doyan sekali dalam urusan ‘ngasal bagi kabar’. Asal boga-bagi, asal share-menshare, tanpa menelaah lebih dahulu apa isi kandungan kabar-kabar yang berseliweran. Bangsa kita tampaknya sudah malas membaca, tapi rajin ngeshare berita. Berita dengan judul yang sangat boombastis!

Padahal, menilai berita itu persis seperti memilih istri, tidak cukup melihat kecantikan tapi juga harus mempertimbangkan budi pekertinya. Akhir zaman ini, berita, tidak cukup hanya dibaca judulnya. Lha wong media sekarang sukanya bikin judul yang caper, biar diperhatikan, biar dapat klik yang lumayan. Barangkali, bagi “wartawan” konsepsi suci jurnalistik sudah tak terlalu penting di akhir zaman ini. Yang diurus bagaimana media mendapat pundi sebanyak-banyaknya, urusan akurasi berita ya nanti saja.

Sebagai mahasiswa yang entah kapan memakai toga, juga anak petani tembakau yang entah kapan bisa mandiri menanam hingga memanennya, saya tergelitik untuk ngepoin puluhan link yang terbang seliweran seperti burung yang lepas dari kandang. Setelah saya kepoin dari media abal-abal, media semi abal hingga media maqam ma’rifat sekelas Kompas, Tempo, Detik dkk, saya baru sadar jika judul berita di negeri ini tak berbanding lurus dengan isinya. Judul-judul berita yang berseliweran itu dengan tegas dan mantap mengatakan bahwa pemerintah akan menaikkan harga rokok menjadi RP.50.000,- dengan ditegaskan oleh “hari ini” dan tanda pentung yang mengerikan: Kebijakan Pemerintah!!! Mulai Hari ini Harga Rokok Naik RP.50.000,-/Bungkus. Edan.

Baca Juga:  Nasionalisme Dalam Sebatang Kretek

Entah dapat ilham apa penulis artikel tersebut, yang pasti isi dari artikel dengan judul yang spektakuler itu hanya berisi laporan seorang peneliti dari Universitas Indonesia. Tidak ada satupun pernyataan pemerintah terkait kenaikan harga rokok. Berdasar dari 80% responden yang menyetujui, Pak Peneliti UI itu yakin para perokok akan puasa menghisap asap apabila pemerintah tegas menaikkan harga rokok. Tidak berhenti sampai di situ, artikel itu menyebutkan pemerintah akan mendapat tambahan dana RP.70 triliyun jika mau menaikkan harga rokok menjadi gocap.

Logika negara mengantongi untung RP.70 triliyun tentu membuat pikiran manusia waras bercabang ke mana-mana. Bila benar negara mendapat keuntungan sedemikian besar, berarti penelitian Pak Peneliti UI tak tepat sasaran. Kenapa? Karena pengudud masih berjumlah sama. Mana mungkin negara mendapatkan keuntungan apabila pengudud berhenti udud jama’ah? Siapa yang membeli rokok? Bila rokok tak terbeli, bagaimana dengan cukainya? Lalu, negara hujan keuntungan darimana? Lha ini usul menaikkan harga rokok dengan niat mengurangi perokok atau biar negara kaya raya dan orang-orang pro Indonesia bebas rokok bisa menghisap keuntungannya?

Baca Juga:  Kebijakan Cukai dan Manuver Kepentingan Global

Selain itu, bila rokok naik kemudian perokok berhenti merokok (artinya penjualan rokok menurun) dan negara dijanjikan si penulis artikel spektakuler itu mendapat keuntungan RP 70 triliyun, barangkali penulis artikel tersebut berpikir memanfaatkan tembakau menjadi produk selain rokok. Bila demikian, pertanyaan yang selanjutnya muncul, kira-kira mau diproduksi menjadi apa emas hijau itu? Semasif rokokkah konsumsinya?

Jika pertanyaan tersebut tak bisa terjawab dan jika pemerintah benar-benar menaikkan harga rokok: tanpa solusi yang jelas dan memperjelas petani tembakau masih dipermainkan tengkulak dengan harga yang tak bisa didongkrak, juga buruh-buruh masih mandi peluh tanpa gaji mberuh, mendingan balik saja ke zaman Jahiliyah.

Saya sih senang-senang saja apabila rokok benar-benar naik, karena ada harapan tembakau yang ditanam bapak dan petani tempakau lain berpotensi nilai jual tinggi. Tapi saya sedikit sedih apabila rokok menjadi barang mahal dan para perokok memilih gulung tikar, karena saya memikirkan nasib aktivis anti rokok, bagaimana nasib lahan mencari uang mereka jika rokok benar-benar menjadi barang terlarang? Mending tembakaunya bapak saya dibeli dengan harga miring, ketimbang aktivis anti rokok otaknya jadi miring karena kehilangan lahan basahnya. Pikir!

Ibil S Widodo