Press ESC to close

Sebungkus Rokok 50,000, Sebatang Apa Kabar ?

Adanya wacana menaikkan harga rokok sampai lebih dari 50,000 Rupiah per bungkus, yang katanya bertujuan untuk menekan angka perokok pemula. Yang konon pula agar masyarakat bawah jadi berhenti membeli rokok. Masyarakat pun nisbi akan beralih membeli bentuk kesenangan lain. Kok ya rasa-rasanya wacana itu kebangetan lebay. Apalagi argumentasinya (melulu) membandingkan harga rokok di Indonesia dengan negara lain. Wah, luar biasa sekali niat baik pewacana itu, agaknya tutup mata sudah mereka dengan produk pembanding lainnya.

Coba tilik satu hal ini, apakah di negara lain jauh lebih gampang dan murah untuk punya kendaraan bermotor, brengseknya lagi, kenapa tendensius sekali terhadap rokok. Alih-alih biar dapat tambahan dana 70 triliun untuk sektor kesehatan dari serapan pajak-cukai rokok gitu? Lantas masyarakat dianggap lupa gitu, dengan banyaknya kasus menyangkut korupsi pengadaan alat kesehatan.  Bukan tidak mungkin kasus serupa berulang. Mesti dibaca lebih seksama dari pengalaman, apalagi hirarki alur DBH-CHT masih rezim kementrian yang sama. Pola perlakuannya bakal tak jauh beda.

Dan perlu diingat, memangnya penyumbang polusi serta angka kecelakaan di jalan, belum lagi dampak stress akibat kemacetan, apa itu penyebabnya wahai. Kenapa populasi kendaraan bermotor tidak demikian ditekan, seperti halnya tekanan terhadap rokok maupun konsumen rokok. Ya memang bukan lagi rahasia, bahwa ada kepentingan asing menekan para pihak untuk mewujudkan cita-cita traktak FCTC, yang dibaliknya industri farmasi punya andil.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik, Konsumen Berkurang?

Kita mungkin tak lagi kaget, untuk punya barang-barang penyumbang polusi itu tak ada yang dipersulit, asal rela diperbabu layanan lising. Sebut deh, mau punya gajet baru, mobil, motor, kulkas baru ? Di meja lising gampang sudah dapat itu semua. Dan yang perlu disikapi, bahwa berubahnya prilaku sosial juga prilaku ekonomi di masyarakat bukan karena negeri kita tembakaunya demikian majemuk, yang lantas itu dicap sebagai momok. Bukan lantaran falsafah, mangan ora mangan asal ngumpul ngebul terus diartikan bangsa ini doyan ngasap. Bukan lantaran itu semua. “Ya mau gimana lagi, Bang. Wong kredit konsumsi itu bagus kok buat kesehatan ekonomi.” Ekonomi siapa ?

Ya wajar deh, kalau di sini apa-apa serba murah. Bersesuai dengan iklim yang terwaris. Tetapi tidak untuk harga rokok agaknya di kemudian hari. Boleh jadi. Jika benar-benar mahal, banyak perokok yang bakal menyetok beberapa slop rokok untuk sebulan. Warung kelontongan dilarang pula menjual rokok. Tak ada lagi rokok yang bisa diketeng. Konyolnya lagi, jika sampai para penyedia layanan lising ambil kesempatan pula. Turut dapat lisensi sebagai penyedia resmi yang diatur kebijakan baru. Mmmh, konyol.

Baca Juga:  Siapa Menteri Keuangan Ideal Pengganti Sri Mulyani?

Semula harga satu slop, katakanlah masih Rp 210,000 ditambah 5% bunga pula. Waduh.  Mana cihuy Negara, untuk meyesap kesenangan saja kawula alit mesti diperangkap begitu. Belum lagi dampaknya terhadap berkah sosial kita, yang tak jarang diperantarai oleh sebatang atau sebungkus rokok. Bisa rusak nilai-nilai guyub antar sesama.

“Gawat. Makin individualis aja nanti tongkrongan, kalo rokok jadi gocap sebungkus.” Seloroh Tantra, anak band yang sehari-hari bernafkah dari jualan kaos. Yang artinya, etika yang biasanya dibahasakan perokok lewat menebar rokok di meja tongkrongan, bakal langka terlihat. Berkah sosial itu akan berangsur punah, dan nisbi tergantikan. Apa tidak ngenes hati, negeri yang kaya akan rempah dan tembakaunya jadi sepi dari suasana khas beraroma kretek. Lantaran rakyatnya beralih mengendus-endus botol minyak angin. Ya kaleee, segitunya, Bung.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah