Membaca adanya pergunjingan terkait diturunkannya seorang penumpang dari kereta api karena rokok, saya merasa agak kesal. Bukan apa-apa, menurut saya hal itu ya biasa saja. Saya juga pernah melihat orang diturunkan dari kereta karena merokok. Ya itu peraturan yang harus ditegakan. Jelas si perokok bersalah, jadi nggak perlu dibela.
Namun, ada yang sangat saya sesalkan dari kejadian itu. Kenapa perkara sesederhana ini dibuat jadi sedemikian ‘sinetronnya’. Dari kejadian ini, tersirat adanya konstruksi antagonis dan protagonis yang dibangun. Bahwa perokok adalah penjahat, dan masyarakat yang tidak merokok adalah korban kebiadaban.
Memang, sudah bukan rahasia lagi kalau banyak kebijakan di negeri ini dibuat-(buat) yang serba tanggung, jauh dari kata ideal. Terkesan asal cetak demi menggolkan kepentingan sepihak.
Katakanlah apa yang perokok harapkan atas haknya, yaitu gerbong khusus perokok belum terwujud. Mestinya bisalah untuk sementara, pihak KAI memfungsikan kereta makan, atau gerbong restorasi untuk mengakomodir hak perokok. Dulu, sekira tahun 2009-an saya masih bisa mendapatkan hak itu, kami masih bisa merokok santai di kereta makan, pada satu perjalanan bersama seorang teman. Selesai ngindomi, ngopi, dan ngerokok di gerbong restorasi itu, ya kami kembali duduk di gerbong semula tanpa harus merokok lagi.
Namun pasca tahun 2012, ketika mulai gencar penerapan larangan merokok di ruang publik, termasuk di kereta api. Yang kemudian satu-satunya kesempatan yang bisa dimanfaatkan yaitu saat kereta berhenti di stasiun tertentu. Itu pun terukur sebentar waktunya, tak lebih dari sebatang kretek mild. Fiuh. Serasa makhluk paling ngehek sekali perokok di kesempatan seperti itu.
Syukurnya, masih ada pilihan transportasi selain kereta api, masih ada bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang menyediakan ruang belakang untuk merokok. Maka untuk bepergian keluar kota, khususnya ketika harus mudik ke Jogja. Kurun 2013-an saya cenderung memilih bus dengan fasilitas tersebut.
Mestinya ya kereta sebagai alat transportasi publik menyediakan ruang khusus merokok untuk penumpangnya. Biar bagaimanapun, penumpang yang merokok memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas itu. Tentu demi terwujudnya “kemanusian yang adil dan beradab”, agar Pancasila tak sekadar hapalan belaka. Lagipun sudah jelas melalui putusan MK Nomor 57/PUU-IX/2011, singkatnya dimana ruang publik, termasuk juga kereta wajib pula menyediakan ruang untuk perokok. Nah pihak KAI harusnya konsisten dan taat azas itu juga dong.
Saya akhirnya membayangkan jika hal serupa terjadi pada sanak saudara si petugas yang berlaku tak bijak itu. Ketika entah keponakan atau sepupunya harus diturunkan dari perjalanan secara sepihak. Tentu itu akan menerbitkan kejengkelan padanya, atau mungkin ia hanya bisa mengutuki dilema itu di hati. Waduh, kasihan hatimu Pak, cuma bisa patuh, dan memendam dilema pekerjaan.
Jika saja gerbong untuk perokok disediakan tentu tak ada lagi pihak petugas (bawahan) yang harus memendam dilema semacam itu. Dan memang sudah seharusnya pihak KAI serius pula untuk mewujudkan fasilitas berbasis win win solution itu, bukan cuma serius dalam menerapkan larangan. Mosok sekelas KAI kalah dengan pengusaha bus AKAP yang mampu menyediakan ruang merokok.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024