Press ESC to close

Petani Tembakau dan Cengkeh Perlu Bersatu Lawan Regulasi Antirokok

Perlawanan petani tembakau Temanggung dalam Laskar Kretek melawan penetapan RPP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif  Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan bukan perkara kalah atau menang. Meski pada akhirnya gerakan Laskar Kretek tidak berhasil menggagalkan penetapan RPP tersebut, tetapi peluang untuk melawan pada tataran pelaksanaannya masih terbuka. Gerakan ini juga berpotensi menjadi kekuatan besar apabila petani tembakau berkonsolidasi dengan petani cengkeh di Indonesia Timur.

Demikian poin-poin diskusi buku Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung yang diangkat dari disertasi budayawan Mohamad Sobary di University Club Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin, 26 September 2016. Diskusi ini dipandu oleh Gati Andoko dengan pembicara Saleh Abdullah dan Hairus Salim, serta penulis buku, Mohamad Sobary.

Saleh memaparkan, sekira 70 juta manusia terlibat dalam rantai produksi industri kretek tanah air. Jumlah tersebut akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat jika dipersatukan.

Saleh menilai, buku ini patut menjadi bacaan bagi aktivis NGO (non-government organization) sebagai bahan refleksi. Di tengah iklim NGO pasca-Reformasi yang kehilangan arah, tidak memiliki visi, dan terjebak dalam “activism”, bagaimana Laskar Kretek menyatukan kekuatan, yang digambarkan dengan apik dalam buku ini, bisa menjadi referensi. Terlebih mengenai kemandirian Laskar Kretek yang membiayai gerakannya sendiri, kontras dengan ketergantungan NGO pada lembaga penyandang dana asing.

Kemandirian tersebut juga merupakan bentuk delinking atau pemutusan diri dari kapitalisme global. Laskar Kretek, ujar Saleh, muncul sebagai kekuatan alternatif dan kreatif baru dengan imaji-imajinya yang puitik dalam bentuk sesaji, doa, dan ziarah.

Baca Juga:  Kearifan Perokok dan Bingkai Antagonisme

Saleh juga mempertanyakan awal mula kemunculan gerakan anti-rokok di Indonesia yang kelihatannya baru membesar selepas Reformasi.

Menurut Hairus Salim, meski sama-sama bertopik perlawanan petani, buku ini berbeda dengan buku-buku bertopik serupa yang rata-rata fokus pada persoalan agraria atau tanah, serta membingkai perlawanan pada soal kalah atau menang. Sobary dengan menggunakan teknik etnografi dan interpretasi menggambarkan perlawanan petani tembakau Temanggung sebagai resistensi yang tidak mengenal kalah-menang.

“Kalau kembali ke teorinya, resistensi itu tak pernah menang, juga tak pernah kalah. Ini yang membedakan (gerakan Laskar Kretek) dengan gerakan sebelumnya,” ujar Hairus.

Meski demikian, Hairus menyoroti sejumlah momen yang bisa dikatakan sebagai kemenangan gerakan pro-kretek. Misalnya keberhasilan mengubah nomenklatur “rokok” menjadi “kretek”. Perubahan ini membuat Laskar Kretek berada di pihak yang sama dengan gerakan antirokok (yang berarti antirokok nonkretek/produk asing), tetapi di sisi lain berseberangan dengan gerakan antirokok dalam hal rokok sebagai produk tembakau.

Di akhir buku, sesudah diundangkannya PP Nomor 109 Tahun 2012, Sobary mempertanyakan apakah para petani Temanggung bahagia dengan apa yang mereka perjuangkan, terlepas dari soal menang atau kalah melawan pemerintah. Menurut Saleh, yang mengutip pendapat Richard Schoch dalam The Secret of Happiness, dalam hal ini imajinasi akan masa depan lebih penting daripada pertimbangan nalar.

“Karena segalanya dimulai dari membayangkan kenyataan masa depan [yang lebih baik]. Inilah yang memunculkan kretivitas yang besar dan masif dalam perlawanan petani tembakau di Temanggung.” Ia berharap agar imajinasi kemenangan petani Temanggung tidak pernah mati agar perjuangan bisa terus berlangsung.

Baca Juga:  Kampus dan Ketidakadilan Terhadap Perokok

Keberpihakan dalam Penelitian

Buku ini ditulis dengan sentimen keberpihakan penulis yang amat kentara kepada petani tembakau. Dengan teknik etnografi, keberpihakan dalam karya ilmiah bukan sesuatu yang haram. Hairus mengutip Clifford, Marcus, dan Fortun dalam Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography bahwa etnografi ialah ilmu yang tidak objektif.

Landasannya adalah kenyataan bahwa banyak penelitian dibuat dengan “tidak jujur” atau tidak eksplisit menyebutkan keberpihakan si penulis. Penelitian yang demikian bersikap seakan-akan objektif, tetapi ketika diamati, ternyata mengandung subjektivitas.

“Kenapa enggak jujur sejak awal? Obyektivitas itu kalau Anda jujur mengatakan dari awal. Obyektivitas terletak pada fairness, kejujuran. Jadi, kalau orang melihat bias, orang akan maklum karena sejak awal yang menulis sudah mengaku,” papar Hairus.

Keberpihakan tersebut diakui Sobary. “Buku ini tidak hanya berisi ilmu, juga berisi komitmen sosial, tindakan memihak, yang tidak usah dikatakan, sudah tampak sangat jelas.”

Hairus menambahkan, manakala peneliti menyatakan netral, itu artinya ia tidak mendudukkan dirinya sebagai bagian dari dunia sosial. “Kalau tidak berpihak, jangan-jangan kita sedang mendukung struktur yang kita sendiri tidak suka,” terang Hairus.