Press ESC to close

Menghargai Non-Perokok di Ruang Sempit

Saya pikir selain advokasi mengenai aturan mengenai hak antara perokok dan non-perokok, ada hal lain yang sepertinya jarang disentuh; bagaimana cara lain menghargai bukan perokok di ruang yang tidak ada aturan soal itu. Ini lazim ditemui, biasanya, di kos-kosan mahasiswa. Kawan-kawan saya yang bukan perokok sering mengeluh mengenai hal ini; kerap terjadi di waktu-waktu, misalnya ketika tengah berkumpul atau rapat-rapat organisasi.

Bagi mahasiswa kos, menggelar rapat-rapat organisasi di kos-kosan adalah hal biasa. Di waktu-waktu itulah, perokok seperti menemukan tempatnya. Ruang sempit, berkumpul dengan orang-orang yang tidak merokok bukan soal untuk sejenak tidak menghisap rokok.

Di ruang umum, belakangan memang pemerintah sudah mencoba upaya dengan mengatur beberapa tempat yang harus bebas dari asap rokok. Melalui misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri nomor 7 tahun 2011. Di situ, diatur beberapa kawasan tanpa asap rokok (KTR), seperti fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, angkutan umum, dll. Ini cukup meredam aksi perokok yang kadang tak tahu diri. Tapi, kadang ada saja yang abai terhadap aturan itu. Merokok di kendaraan umum, seperti angkot, minibus, hingga bus.

Menaati aturan larangan merokok di ruang publik itu agaknya hanya berlaku di tempat-tempat ‘berkelas’ saja, tidak untuk ruang yang umum digunakan masyarakat kelas bawah yang memang tidak diatur secara tegas. Padahal, justru masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah akan menerima imbas berkali-kali lipat dari ulah abai para perokok.

Baca Juga:  Sudah Tepatkah Penggunaan Dana Rokok Untuk Menambal Defisit BPJS?

Meski tak ada aturan soal itu—karena tidak termasuk dari beberapa kawasan di larang merokok—sebagai perokok, mestinya cukup sadar, menghargai bukan hanya soal aturan. Ia lahir sebagai konsekuensi hidup bersosial.

Sebagai solusi atas persoalan itu, beberapa kawan di organisasi akhirnya membuat aturan internal. Bagi mahasiswa yang sering menggelar rapat di kos-kosan, melakukannya dengan merokok secara bergantian; tidak lebih dari dua atau tiga orang yang merokok jika forum rapat tengah berlangsung. Ini cukup efektif untuk mengurangi kadar asap rokok di ruang sempit dan minim sirkulasi udara seperti kos-kosan. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada bukan perokok, hal itu juga bisa membantu jalannya forum rapat.

Meski begitu, kadang ada saja yang menolak aturan itu. Berdalih karena misalnya, dapat  membantu tingkat konsentrasi hingga larangan itu dianggap lebay. Oy, ini bukan lagi persoalan kesehatan. Anda boleh saja tidak memercayai teori kesehatan mengenai bahaya asap rokok yang lebay itu. Toh, palingan Anda juga  membantahnya dengan teori lain yang membalikkannya, atau dengan manfaat tembakau misalnya, yang diambil serampangan dari google tanpa memverfikasinya lebih dulu. Tapi, apa bedanya jika begitu. Keduanya sama-sama lebay.

Anda juga boleh saja menganggap persoalan berbagi atau menghargai sesama hak antara perokok dan non-perokok itu hanya persoalan sepele. Dan memang benar. Urusan berbagi ruang ini adalah konflik hidup bersosial dalam eskalasi kecil. Tapi bukankah persoalan saling menghargai adalah hal yang paling mudah memicu konflik bereskalasi lebih besar.

Baca Juga:  5 Resolusi Tahun Baru 2019 dari Perokok Santun yang Ingin Tetap Santun

Konflik itu lahir karena ada salah satu yang merasa dirugikan dan ia merasa tidak melakukan. Ini point pentingnya. Padahal, ada banyak hal lain di dunia ini yang merugikan. Ini hukum sederhana yang mestinya dipahami seorang perokok.

Jadi jangan heran, sebagai perokok, Anda akan selalu mudah disalahkan. Jangankan di ruang tertutup, merokok di ruang terbuka saja banyak yang menunjukkan sikap-sikap tak senang, bisa dengan memandang sinis, menutup hidung, hingga mengajukan pertanyaan tentang keuntungan merokok. Semua itu adalah isarat ketidaksenangan seseorang kepada seorang perokok. Ia tidak sadar, padahal ada banyak hal lain yang merugikannya tanpa disadari dan terus menerus dikonsumi.

Tapi Anda juga tak perlu sinis, karena itu adalah hak mereka sebagai orang yang merasa menjadi korban. Karenanya, satu-satunya jalan keluar dari persoalan ini adalah usaha berbagi ruang. Ini bukan soal argumen antara perokok dan antirokok, soal siapa yang paling benar di antara keduanya. Lagi-lagi, ini hanya soal berbagi ruang. Saling menghargai. Teori kesehatan dalam perkara rokok itu hanya klaim kebenaran. Dan walau bagaimana pun, klaim kebenaran tunggal tak akan membawa perdamaian.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut