Press ESC to close

Saat Banyak Pihak Berupaya Meniadakan Cengkeh dari Kretek

Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku di Nusantara. Dalam peradaban kuliner, rempah-rempah lebih sering digunakan sebagai bumbu; penyedap rasa yang cukup menggugah selera makan, lantaran memiliki aroma yang khas. Jauh sebelum kulkas sebagai pengawet makanan ditemukan. Bangsa-bangsa tua tak sekadar memanfaatkannya sebagai penyedap. Khusus cengkeh yang kita soroti di sini, tercatat pula pernah menjadi simbol gengsi dan kebangsawanan.

Pada abad keempat misalnya, saat masa pemerintahan Dinasti Han di Tiongkok, siapa pun yang hendak menghadap raja, diwajibkan mengunyah cengkeh terlebih dulu supaya mulutnya wangi. Dengan lain kata, cengkeh menjadi bagian penting dalam perhelatan bergengsi pada masa itu. Tak heran jika cengkeh kemudian menjadi incaran bangsa-bangsa penjelajah, bahkan sampai masa kini masih merupakan komoditas unggulan.

Selain dikenal berguna menyembuhkan penyakit serta mencegah epidemi, rempah-rempah juga kerap digunakan sebagai sarana memanggil para dewa dan mengusir roh jahat. Bahkan bekerja jauh lebih efektif dibanding emas, tak ayal jika menjadi alat pembayaran internasional. Tentunya dijadikan juga sebagai alat sogok. Racine dan Moliere pernah menertawakan para hakim Perancis karena pernah disogok dengan rempah-rempah.

Cengkeh yang bernilai mewah itu, adalah tanaman edemik Indonesia yang di era Nitisemito mulai terserap untuk kebutuhan industri kretek. Di Kepulauan Maluku cengkeh memiliki hikayat yang panjang, bahkan mempengaruhi peradaban dunia. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘The three golden from the east’ (tiga emas dari timur) yakni Ternate, Banda dan Ambon.

Sebelum kedatangan Belanda, penulis dan tabib Portugis, Tome Pirez menulis buku ‘Summa Oriental’ yang telah melukiskan tentang Ternate, Ambon dan Banda sebagai ‘The Spices Island’. Pada abad pertengahan ekstrak cengkeh dan kayu manis digunakan untuk mengurangi rasa sakit penderita pes. Tentang penggunaan cengkeh dan lada sebagai obat-obatan pernah ditulis oleh Venerable Bede (673-735), dia orang yang patut dimuliakan atas jasanya. Walaupun dalam konteks ini dia hanya sebagai penerus orang yang punya otoritas, yakni Galen, salah satu dokter dan ahli purbakala terkenal yang hidup pada abad II M. Tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam ilmu kedokteran modern Eropa.

Baca Juga:  Wisata Kretek : Peringatan Hari Kretek di Lereng Sumbing

Puisi Irlandia abad XIII yang berjudul The Land of Cockayne cukup menggambarkan ‘surga’ rempah-rempah di suatu kepulauan dalam imajinasi orang Eropa abad pertengahan. Ada pohon di padang rumput, sangat indah dipandang. Akarnya berupa jahe dan akar lengkuas, tunasnya dari temu putih. Bunga-bunganya berupa tiga helai bunga pala, sedang kulit kayunya kayumanis berbau sedap. Buahnya berupa cengkih yang sedap dan lada berekor pun berlimpah. 

Disebutkan oleh Jack Turner dalam buku berjudul Spice: The History of Temptation, bahwa Cockayne merupakan buah dari rasa frustasi masyarakat Eropa abad pertengahan terhadap rempah-rempah. Kerahasiaaan tingkat tinggi dalam skema dagang yang kompleks membuat rahasia asal-usul rempah-rempah tak terdeteksi hingga jaman penjelajahan tiba. Pada abad itu, masyarakat Eropa tidak tahu tentang Maluku, tempat asal rempah-rempah.

Hingga kemudian pada abad 18 akhir Haji Djamhari di Kudus mencipta kemunculan kretek sebagai penyembuh penyakit asmanya. Cengkeh di Indonesia menjadi satu kebutuhan tersendiri dan membentuk identitas yang khas Indonesia. Hal ini tentu tak terlepas dari kebiasaan masyarakat yang gemar melinting rajangan tembakau.

Kebiasaan meracik, mencampur berbagai unsur sehingga menghadirkan citarasa unik ini adalah suatu temuan yang kemudian memberi nilai kemakmuran. Pada fase selanjutnya, Nitisemito memanfaatkan temuan ini menjadi peluang usaha baru, sehingga mengubah cara pandang dunia terhadap rokok khas Indonesia ini. Bicara soal kretek tentu tak bisa dilepaskan dari unsur cengkeh yang terdapat di dalamnya. Sampai-sampai dalam PP 109/2012 yang merupakan satu bentuk aksesi dari FCTC, tercantum pada pasal 12 ayat 1, bahwa: Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan.

Bahan tambahan yang diisyaratkan pada pasal tersebut tentu merujuk kepada penggunaan unsur cengkeh, dan saus (perisa) yang terkandung pada kretek. Dari sisi itu tersirat apa yang dibidik oleh kepentingan rezim kesehatan, yang tak lain ingin mengahapus andil cengkeh dalam penggunaan industri kretek. Hal itu berlaku pula pada komoditas tembakau kita yang majemuk.

Baca Juga:  Rokok, Kemewahan Terakhir Masyarakat yang Hendak Direbut Orang Kaya

Implikasi “pengendalian” ini adalah suatu bentuk penjajahan karakter yang terdapat pada kretek. Menghisap kretek sebagai sebuah ekspresi budaya kian terancam dipunahkan dari keseharian kita. Ironisnya, ekspansi rokok impor yang umumnya non cengkeh, terus berusaha mengambil posisi di pasar Indonesia. Meniadakan cengkeh dari kretek sama halnya menghapus janggut Haji Agus Salim dari kemasyhurannya. Seperti kita ketahui, beliaulah tokoh yang berani mengasapi Pangeran Philip dengan menggunakan kretek di tangannya, sambil tersenyum berkata, inilah sebabnya 300 atau 400 tahun lalu bangsa Paduka mengarungi lautan dan menjajah negeri kami.”

Aprilia Hariani

Warga Pribumi