Press ESC to close

Tudingan Ada Narkoba dalam Rokok Adalah Hoax dari Antirokok

Soal membuat berita yang mengandung hoax, anti rokok adalah ahlinya. Sabtu (21/1) kemarin anti rokok yang diwakili oleh YLBHI dalam Workshop Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Hotel Royal Padjadjaran, Bogor, menuding bahwa ada perusahaan rokok yang menyelundupkan narkoba berjenis sabu-sabu atau metamfetamina untuk dijadikan bahan baku rokok (baca; Tudingan YLBHI soal perusahaan perusahaan rokok dan narkoba). Padahal itu belum terbukti dan hanya berdasarkan dugaan-dugaan.

Sungguh sangat disayangkan jika melihat dari profil dan background dilingkaran anti rokok ini diisi oleh praktisi hukum, peneliti, mahasiswa, dan pakar kesehatan. Namun seringkali mereka membeberkan data yang tidak berdasarkan fakta. Terutama untuk kasus tudingan ada narkoba di dalam rokok.

Tudingan semacam itu tentu saja dapat menjadi stigma negatif bagi industri rokok maupun konsumennya. Jika anti rokok menuding bahwa perusahaan rokok menyelundupkan narkoba di dalam produknya, sama saja dengan menuding bahwa konsumen rokok merupakan pemakai narkoba juga.

Sungguh ironis jika kita melahat bahwa merokok yang merupakan aktivitas legal ini dianggap pelaku konsumen haram. Padahal sudah ada aturannya mengenai hal ini dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi pasal 115 ayat 1 Undang-Undang Kesehatan No. 36/2006 dan putusan Mahkamah Konstitusi (No.57/PUU-IX/2011).

Sebenarnya dalam redaksi pemberitaan soal tudingan ada penyelundupan narkoba di dalam bahan baku rokok, Julius dari YLBHI terang-terangan mengatakan bahwa itu belum memiliki bukti. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa sesuatu yang belum terbukti tersebut dengan percaya dirinya dikatakan kepada publik? Sunggu pernyataan yang konyol.

Baca Juga:  6 Hal yang Harus Diperhatikan Agar Menjadi Perokok yang ‘Keren’

Sepertinya ini memang sudah seperti tabiat para antirokok yang melakukan kampanye dengan asal ceplas-ceplos dengan mengandalkan stigma-stigma negatif yang dilekatkan kepada industri rokok dan konsumennya.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian-penelitian bantahan terhadap tudingan-tudingan antirokok yang selalu menstigmakan negatif rokok dan perokok. Masih ingat dr Su Jang Wen sang ahli bedah Toraks dan Kardiovaskular dari Gleneagles Hospital Singapura?

Ia pernah mengatakan bahwa, “Saya tidak merokok jadi tidak punya kanker paru-paru” adalah pernyataan yang salah. Saat ini, sudah banyak ditemukan kasus orang yang tidak merokok tapi tetap terkena kanker paru-paru. Sebuah bantahan atas stigma negatif bahwa tidak melulu kanker dapat dikaitkan dengan aktivitas merokok.

Belum lagi sebuah penemuan mutakhir dari Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, melalui riset ilmiah berbasis nanosains (nano-science) nanoteknologi (nano-technology), dan nano-biologi (nano-biology). Para ilmuwan anak bangsa yang tergabung dalam Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB) di Malang ini, berhasil memformulasikan suatu materi yang disebut scavenger, suatu formula yang dapat memperkecil partikel asap menjadi partikel berskala nano, yang mampu menangkap, mengendalikan, dan meluruhkan radikal bebas. Maka, ketika scavenger ini dibubuhkan pada rokok kretek, menjadi rokok kretek sehat.

Berbagai penelitian ini jelas membalikkan beragam tudingan kelompok antirokok yang selalu memakai argumen kesehatan. Namun namanya juga tabiat, benar atau tidaknya data terus saja mereka kampanyekan demi keberlangsungan mengawal kepentingan pembatasan terhadap aksesi produk hasil tembakau.

Baca Juga:  Merayakan Hari Kretek, Merayakan Produk Budaya Bangsa

Termasuk tudingan adanya narkoba di dalam bahan baku rokok, salah satu bukti tabiat asal ceplas-ceplosnya antirokok. Terutama ketika mengatakan kandungan narkoba berjenis metamfetamina yang digunakan untuk memproduksi rokok adalah penyebab rokok bisa menjadi kecanduan.

Padahal dulu British Medical Association menyarankan anggota dokternya agar tidak menggunakan kata adiksi terhadap rokok. Sebab jika seorang perokok ingin memilih berhenti, maka sebenarnya ia dapat berhenti dari aktivitas merokok. Justru pelekatan adiksi inilah yang memberikan impresi bahwa seorang perokok tidak dapat berhenti merokok.

Jadi dari perkataan rokok menyebabkan kecanduan saja, para antirokok ini sudah asal ceplas-ceplos. Karena dalam pemikiran mereka, menakut-nakuti dengan alasan kesehatan adalah hal yang efektif untuk kampanye mereka. Apalagi dengan ada labeling narkoba terhadap rokok.

Tentu saja di tengah-tengah kondisi maraknya bertebaran informasi hoax di negeri ini, sebenarnya antirokok turut mempunyai andil dalam menyebarkan informasi hoax. Belum dihitung dengan produksi stigma-stigma negatif dan ujaran mengandung kebencian dalam kampanye mereka. Kira-kira sudahkah para antirokok masuk ke dalam pelanggaran UU ITE?

Muhammad Yunus

Mahasiswa UIN Jakarta doyan ngisap Rokok