Press ESC to close

Penghilangan Bantuan Kesehatan kepada Perokok hanya Tafsir Hukum

Ada semacam konsekuensi yang terus berkelindan dari setiap kebijakan pemerintah yang melibatkan banyak pihak; menguntungkan satu pihak dengan ada pihak lain yang dirugikan. Ini seperti tradisi dari sebuah sistem kepemimpinan di negara ini. Tapi masalahnya, masyarakat kelas bawahlah yang kerap mendapat imbas dari model kebijakan ini.

Baru-baru ini, wacana untuk memotong bantuan kesehatan negara terhadap perokok kembali mengemuka. Pemerintah konon tengah menyusun peraturan perundang-undangan yang akan membatasi bantuan BPJS Kesehatan terhadap penyakit yang katanya diakibatkan dari rokok. Jadi, nantinya, BPJS Kesehatan katanya tak akan menanggung penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Peraturan perundangan itu katanya berpayung pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 111 tahun 2013 pasal 25 yang menyebutkan bahwa hal-hal yang tidak dijamin dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan.

Tentu saja lagi-lagi ini atas dalih meningkatkan kesehatan masyarakat, seperti biasanya. Tapi tak usah heran. Dalam soal rokok, memang akan ada banyak orang yang secara tiba-tiba memiliki kepedulian tingkat dewa. Padahal, khusus soal penyakit yang katanya karena rokok ini, ada begitu banyak penyebabnya. Saya tidak tahu kapan pemerintah akan menekan penjualan kendaraan bermotor di negara ini. Atau mempersulit sistem kredit motor yang telah menjerat masyarakat jatuh pada jurang kemiskinan. Iya, kapan.

Baca Juga:  Perokok Sehat, Apakah Mungkin?

Tapi, mencermati alasan peraturan pembatasan BPJS Kesehatan terhadap penyakit akibat rokok yang berpayung pada perpres itu bagi saya adalah sebuah tafsir hukum. Tentu saja dalam hal ini adalah pihak BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan yang menafsirkan bahwa rokok adalah perbuatan yang meyakiti diri sendiri. Maka, kecuali perokok, semua berhak menerima bantuan jaminan kesehatan dari pemerintah. Padahal, mungkin juga ada begitu banyak penyebab lain yang termasu kategori menyakiti diri sendiri.

Mengklaim aktivitas merokok sebagai tindakan menyakiti diri sendiri adalah logika yang cacat; sebuah upaya untuk menyalahi status rokok sebagai barang legal di negeri ini.

Beberapa pihak memang tak henti-hentinya melakukan upaya pengendalian terhadap barang yang telah menyumbang besar terhadap kas negara ini. Meski sejauh ini, baik dari industri, penjual hingga konsumen telah taat terhadap kebijakan pemerintaih terhadap pengendalian terhadap rokok. Mulai dari kenaikan cukai rokok, iklah rokok, hingga upaya berbagi ruang melalui KTR. Tapi tetap saja ada beberapa pihak yang nyatanya terus menunjukkan sinisme klise terhadap rokok.

Kesehatan barangkali yang paling banter. Padahal soal kesehatan ini, juga ada banyak hasil penelitian yang menunjukkan data lain mengenai pengaruh rokok terhadap kesehatan.

Pada 2013, salah satu peneliti dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dr Ttot Sudargo dalam sebuah seminar di Jember menyatakan, tembakau mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid dan fenol. Dua senyawa itu menjadi antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker, anti-karsinogen, anti-proliferasi, anti-flamasi, serta memberikan efek proteksi terhadap penyakit kardiovaskuler. Selain itu, katanya, di dalam daun tembakau juga terdapat vitamin C atau asam askorbat yang menjadi antioksidan dan dapat bereaksi dengan antiradikal bebas dengan cara memberikan efek proteksi sel.

Baca Juga:  3 Keistimewaan Rokok bagi Negara

Ah, tapi rasanya percuma mengajukan bukti-bukti demikian kepada mereka. Anda seolah mengajukan bukti sampah. Dan haqul yakin, akan ditolak mentah-mentah. Tidak percaya? Coba saja sendiri.

Saya membayangkan di kemudian hari falsafah kelima negara ini, Pancasila, akan diubah. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” akan ada penambahan redaksi, “kecuali bagi perokok.” Tapi ya tentu agak mustahil. Nyatanya ada begitu banyak diskriminasi oleh pemerintah terhadap rakyatnya, tapi ya tetap saja enggak ganti-ganti. Kalau saja diganti, tentu redaksinya akan panjang sekali. Atau, suatu hari mungkin sila kelima itu akan hilang. Boleh jadi.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut