Press ESC to close

Rokok Penyebab Pasti dari Statistik Kebakaran di Jakarta?

Kebakaran pertama yang terjadi di muka bumi ini tentu bukanlah disebabkan korsleting listrik, kompor, puntung rokok, atau ‘faktor lain-lain’, sebut saja karena ada seekor naga angop mengantuk. Beberapa sumber mengatakan sambaran petir maupun letusan gunung berapi merupakan faktor yang lebih dimungkinkan karena belum ada pembuktian valid bagaimana kerja api dikendalikan oleh manusia prasejarah.

Namun akan lain halnya ketika kita membaca berita musibah kebakaran melalui media-media utama di abad distribusi ini. Pada banyak berita frasa ‘diduga’ kerap menyertai judul dan isi, dalam kerangka menghadirkan ruang kemungkinan tafsir. Frasa yang berpotensi menimbulkan spekulasi publik. Dan sudah barang tentu frasa tersebut adalah diksi yang tak berefek riskan bagi media. 

Lalu di mana fungsi elemen kebenaran fungsional yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang pula kemudian disayangkan oleh keduanya, bahwa kebenaran yang diungkap jurnalis (kebanyakan) lebih mengambil hasil wawancara, pidato, maupun konferensi pers semata. Seakan-akan pengungkapan kebenaran final sampai di situ.

Tidak sepenuhnya salah memang. Karena sebagian dari kerja jurnalistik adalah itu; mencatat informasi dari narasumber, merangkum hasil wawancara maupun konferensi pers. Namun yang kerap terjadi wartawan terjerumus menjadi pelaku pasif. Bukan tidak mungkin terperangkap agenda yang ingin dimuluskan narasumber. Di situlah konsep kebenaran filosofis mestinya menjadi bagian yang inheren dalam kerja wartawan. Dan terus hidup dialektikanya.

Kembali ke persoalan kebakaran. Kebakaran adalah human error atau kecelakaan yang terjadi akibat kesalahan manusia, yang oleh media dapat dibingkai alias ‘digoreng’ seturut tuntutan kejar tayang. Yang aksesnya dapat mempertebal pembenaran akan satu faktor penyebab keadaan. Salah satunya yaitu kebakaran yang disebabkan puntung rokok. Sehingga yang kemudian bunyi di masyarakat, rokok selain merugikan kesehatan juga penyebab kebakaran yang menelan kerugian lebih besar. Jangan-jangan, para korban kebakaran karena puntung rokok dihitung oleh antirokok sebagai korban yang tewas karena menghisap rokok pula. Ebusyet.

Baca Juga:  Soal Ruang Merokok Di Mandalika Yang Diprotes Susi

Semua hal bisa diklaim dan didiskreditkan memang, apalagi sepanjang kuasa modal tak berhenti memberi infus penunjang. Namun kita (konsumen berita) bukan berarti lantas tutup mata dan buntu nalar. Bahwa ada sebab di atas penyebab, itu perlu juga untuk ditilik. Kok bisa? Yaiyalah. Pelaporan kebenaran yang dikandung fakta tentu tak selesai sebatas dari hasil wawancara. Jangan karena alih-alih pemenuhan informasi kejar tayang, lalu kesimpulan dini yang didapat dari keterangan satu-dua sumber dianggap satu-satunya fakta yang membuktikan kebenaran seluruhnya.

Tim forensik yang otoritatif saja belum dapat memberi keterangan pasti di hari itu, media terkadang membingkai kejadian seturut kepentingannya. Jika tuntutannya sekadar untuk menunjang kebutuhan pelaporan, dan ini kerap terjadi, seakan-akan tak ada lagi fakta baru dari peristiwa kebakaran itu, pelaporan kebenaran dianggap bukan hal penting lagi. Karena apa? Iya karena didesak tuntutan mengejar berita lain yang dianggap lebih kece.

Dari beberapa peristiwa kebakaran yang terjadi di kawasan pemukiman DKI Jakarta,  ada beberapa penyebab yang umum terjadi. Berdasar data dari situsweb jakartafire.net pada 2016 tercatat peristiwa kebakaran yang disebabkan korsleting listrik ada 754 peristiwa, disebabkan rokok 35 peristiwa, disebabkan kompor ada 75 peristiwa, dan yang disebabkan faktor lain-lain 183 peristiwa. Nah, ‘faktor lain-lain’ ini yang tak terjelaskan rinci, namun angkanya terbilang tidak kecil, bahkan di tahun 2015 terjadi 615 peristiwa.

Baca Juga:  Bersama Mewujudkan Perokok Etis

Dari data yang ada, korsleting listrik menduduki peringkat teratas, namun pertanyaan kritisnya, kenapa rokok terklasifikasi di urutan ke dua, padahal dari tahun ke tahun kompor dan ‘faktor lain-lain’ angkanya lebih tinggi. Dan ‘faktor lain-lain’ inilah yang sebetulnya tak terlalu banyak diberitakan. Dengan kata lain ada fakta dan kebenaran yang agaknya (perlu) disembunyikan dari peristiwa. Di situlah kemudian pertanyaan kritis terkait 5W 1H muncul, mempertanyakan kembali unsur ‘how’ pada muatan berita cepat saji; “bagaimana kita dapat pasti bahwa yang kita ketahui adalah benar?”

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah