Press ESC to close

Teror Antirokok Memicu Konflik Peperangan

Menyimak wacana-wacana antirokok belakangan yang banyak memuat berbagai tendensi, memicu konflik peperangan. Para jargon antirokok terus-menerus membius pengetahuan masyarakat terhadap rokok dengan dalih kesehatan. Hal ini menandai adanya penyerangan secara halus, melalui media iklan, maupun media online. Bahwa rokok sangat berbahaya terhadap kesehatan, rokok dapat menyebabkan kanker, rokok dapat menyebabkan kematian lalu menciptakan slogan ‘Merokok Membunuhmu’.

Menanggapi wacana Republika Online baru-baru ini yang memuat berita lebay tentang jumlah ‘perokok perempuan di Indonesia naik hingga 400 persen’. Informasi seperti ini sangatlah membius masyarakat yang tidak mengetahui duduk perkaranya.

Tema-tema yang berlandaskan gender menjadi pokok utama bagi para anti rokok agar masyarakat mudah dipengaruhi karena masih melekatnya budaya patriarki. Wacana antirokok kini kian kentara di mata masyarakat, semakin lama semakin mendorong para antirokok untuk menyingkirkan proses dan perjuangan di balik asap yang dinilai bahaya laten ini.

Mengasumsikan bahwa meningkatnya perokok perempuan disebabkan oleh tuntutan gaya hidup dan timbulnya stres, jelas suatu asumsi yang tidak akurat. Analisis semacam ini seharusnya dicerna lebih luas lagi, sebab menyamakan rokok dengan gaya hidup ialah hal konyol dan tidak masuk akal. Gaya hidup tidak semata-mata soal kebiasaan, namun juga bisa dilihat dari cara berpakaian, maupun mengkonsumsi makanan.

Baca Juga:  Harap-harap Cemas Petani Tembakau

Tapi para antirokok ini tidak pernah membahas mengenai makanan yang mengandung MSG. Selain itu, timbulnya stres dengan melampiaskan pada rokok bukanlah satu-satunya penyebab utama meningkatnya perokok. Banyak orang yang melarikan diri karena stres pada ganja maupun narkoba. Bahkan tidak sedikit pula berujung pada bunuh diri. Namun, bukan berarti saya mengartikan bahwa ganja dan narkoba lebih buruk dari tembakau, ini persoalan bagaimana cara pandang kita terhadap sesuatu secara lurus dan netral.

Belumlagi persoalan gender dan rokok sangatlah erat diperbincangkan. Terlebih ini salah satu kesempatan para antirokok untuk menyelinapkan ideologi busuknya. Wacana perokok perempuan selalu dikait-kaitkan dengan moralitas dan kesehatan, yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali. Namun, budaya patriarki dan ketabuan masyarakat masih sangat kental.  Dan hal ini menjadi pemicu utama bagi para antirokok yang memberi jalan bagi perusahaan farmasi agar mendapat keuntungan besar untuk menjual obat, tanpa memikirkan pihak lain yang dirugikan.

Membatas-batasi perempuan dari merokok sama saja dengan mendiskriminasi kebebasan dan hak hidupnya. Kalau ingin menilik dari sejarah, perempuan dan rokok tidak dapat dipisahkan. Roro Mendut salah satu tokoh perempuan yang mempertahankan harga dirinya yang menolak diperistri oleh seorang raja kaya raya yang berkuasa di tanah Jawa Tumenggung Wiraguna dengan menjual rokok.

Baca Juga:  Kiat Mengurangi Risiko Penyakit Jantung

Pemberitaan tentang bahaya rokok oleh para antirokok ibarat teror yang dapat memicu konflik peperangan. Berbagai informasi negatif yang isinya bersifat kebencian terhadap perokok menjadi penyebab utama mengapa masyarakat sangat anti terhadap rokok, ditakuti karena asapnya yang dianggap membahayakan kesehatan. Kelompok antirokok selalu menggiring masyarakat dengan dalih kesehatan yang bermakna kebencian terhadap rokok. Otomatis para aktivis rokok akan melakukan perlawanan karena terintimidasi dari kesewenang-wenangan mereka. Ini seperti peperangan tanpa senjata, kalau ini terus terjadi maka tidak akan adanya sebuah persatuan bangsa yang damai dan merdeka.

Saling  toleransi dan menghargai antara yang perokok dan tidak merokok ialah suatu jalan pemecahan masalah yang tak kunjung usai ini. Jangan sampai bangsa ini terpecah belah gara-gara informasi recehan itu.

Pinot Sity

Pinot Sity

Penjual buku bertemakan gender, sangat bergairah membicarakan seks sambil ngiseup roko dan kopi. Bisa disapa di @Ratukerang