Press ESC to close

Antirokok adalah Produk Rekayasa untuk Mendulang Keuntungan

Rokok itu berbahaya bagi kesehatan, rokok harus diperangi, itulah pesan kampanye yang terus-menerus dilakukan oleh para penggiat antirokok di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tidak ada yang keliru dengan kampanye antirokok semacam itu, siapapun paham kesehatan adalah harta yang tak terkira nilainya bagi setiap individu dan masyarakat.

Tentu saja dengan wacana itu rokok dianggap barang yang berbahaya bagi masyarakat. Perlu disikapi dengan kritis dan bijak untuk urusan ini, karena kebenaran ilmiahnya pun sampai detik ini masih debatable. Dinamika terus terjadi hingga hari ini.

Berbagai macam jenis kampanye para antirokok di Indonesia terus mengisi ruang-ruang publik. Sosialisasi melalui workshop, seminar, dialog dan lain sebagainya tentang bahaya rokok terus berjalan. Perda-perda Kawasan Tanpa Rokok terus bermunculan di berbagai daerah. Media massa cukup intens memberitakan berbagai wacana negatif tentang rokok.

Berkembangnya orang-orang maupun kelompok yang senada dengan itu terus lantang menentang produk hasil olahan tembakau. Pelan tapi pasti, begitu kira-kira. Wacana tembakau yang berbahaya bagi kesehatan menjelma jadi kebenaran umum dan diamini banyak orang. Nyaris tidak ada wacana tandingan, semuanya seakan jadi pembenaran mutlak.

Akan tetapi, ketika banyak orang kemudian tahu, keganjilan dalam wacana antirokok tidaklah berdiri sendiri. Maka diikuti pula dengan kemunculan skeptisme masyarakat bahwa kampanye antirokok sejatinya tidak bebas nilai.

Hasil studi C.A. Weslager, Magic Medicines of the Indians, menyatakan tembakau mampu melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi melalui bau-bauan, tembakau menghangatkan yang kedinginan, sekaligus menyejukkan mereka yang berkeringat, menimbulkan rasa kenyang bagi mereka yang kelaparan, memulihkan semangat yang loyo, mencegah nafsu makan, dijadikan asap untuk penyakit tuberkolusis, diuapkan untuk sakit rematik dan semua penyakit hawa dingin dan lembap.

Sudah bisa dipastikan hasil studi tersebut menjadi pukulan telak bagi para antirokok. Tembakau yang tadinya dianggap berbahaya telah terpatahkan. Tembakau sudah dimanfaatkan sebagai obat oleh penduduk Indian di daratan Amerika jauh sebelum para pendatang eropa mendudukinya. Bahkan, bangsa kulit putih yang menikmati hidup di tanah jajahannya itu, ikut juga memanfaatkan tembakau untuk menangani berbagai penyakit dan keluhan fisik hingga saat ini.

Sialnya, pada dekade 80-an, gerakan antirokok mendapat angin segar. Mereka mendapatkan momentum untuk sebuah kampanye besar. Tembakau dan nikotin yang dikandungnya dicerca habis-habisan oleh pejabat kesehatan publik.

Baca Juga:  Mari Mengenal Kembali Apa Perbedaan Kretek dan Rokok

Pada 1988, ‘Surgeon General AS’ pada pernyataan pertama kalinya yang disusun oleh ‘Centers for Disease Control’ (CDC) menyatakan bahwa nikotin adalah zat yang menyebabkan kecanduan.

Dalam susunan laporannya, CDC juga mengatakan bahwa untuk menghentikan pecandu rokok tersebut harus melalui ahli terapi perilaku dan dibarengi dengan berbagai obat-obatan yang akan membantu menghentikan kebiasaan merokok. Langsung atau tidak langsung berdampak buruk pada produk nikotin industri tembakau serta menciptakan efek promosi produk-produk farmasi.

Berbagai kampanye tentang bahaya tembakau melibatkan para dokter, ahli farmasi, pegiat antitembakau, politisi sampai kepada badan-badan nasional maupun internasional. Kegiatan terkait dengan kampanye antirokok, pembuatan peraturan-peraturan, lobbying, dilarang merokok, iklan dan sponsorship produk tembakau ini, pada umumnya didanai oleh korporasi-korporasi farmasi internasional karena tergiur dengan pasar raksasa yang amat potensial untuk produk penghenti rokok.

Adapun sejumlah industri farmasi yang memproduksi penghenti rokok di antaranya adalah, Johnsos & Johnson, GlaxoSmithKline yang memproduksi dan memasarkan koyok nikotin nicoderm. Pharmacia & Upjohn  memproduksi obat anti merokok Nicorette dan Nicotrol, Advanced Tobacco Products, Inc menjual hak paten teknologi nikotinnya yang merupakan basis produk Nicorette/Nicotrol Inhaler, Hoechst Marion Roussel memproduksi permen karet Nicorette dan koyok Nociderm, Novartis meluncurkan koyok nikotin Habitrol, Pfizer mengembangkan bahan baru untuk membantu berhenti merokok, yang dikenal dengan nama CP-526-555.

Dari semua perusahaan obat itu, tiga di antaranya adalah mitra WHO untuk proyek anti tembakau /program pengendalian tembakau global, yakni; Johnson & Johnson, Pharmacia & Upjohn dan Novartis.

Upaya mereka akhirnya berbuah manis, pada akhir tahun 2000, penjualan obat berhenti merokok yang berbasis nikotin di Amerika meraup keuntungan mencapai US$ 700 juta. Angka ini belum termasuk penjualan global di luar Amerika yang terus meningkat. Praktek mereka sangat gamblang bahwa obat berhenti merokok adalah ‘bisnis miliaran dolar’.

Jadi, jika Anda masih percaya dengan gerakan antirokok yang hanya mengamini rokok adalah produk berbahaya, kiranya perlu berpikir ulang. Karena akar dari gerakan tersebut adalah agenda bisnis obat berhenti merokok yang mampu mendulang miliaran dolar.

Pada 1942, Menteri Propaganda Nazi Paul Joseph Goebbels, pernah menyebarkan  kebohongan berulang-ulang kepada publik. Mereka percaya, kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.

Baca Juga:  Perda KTR di Surabaya Jangan Jadi Alat Diskriminasi Perokok

Robert A. Levy, ilmuwan dan pakar matematika dari National Institute of Standards and Technology Amerika pernah menyatakan, perang terhadap rokok dimulai dari ‘setitik kebenaran’ bahwa rokok itu memiliki suatu faktor risiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa hingga menjadi monster kebohongan yang mengikis kredibilitas pemerintah dan mensubversi aturan hukum.

Hal serupa diungkap pula oleh Judith Hatton, co-author buku “Murder a Cigarette”, bahwa pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang bahaya merokok tidak lebih dari propaganda yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik dan estimasi, tidak lebih dari kebohongan-kebohongan bejat.

Begitu juga A. Colby, penulis buku “In Defense of Smokers”, dalam kata pengantarnya sangat jelas disebutkan, “saya menulis buku ini untuk menyangkal propaganda antirokok yang liar, tidak bertanggung jawab dan tidak benar, yang mengaburkan kebenaran”.

Pertanyaannya adalah, kebenaran macam apa yang dikorbankan dalam kampanye anti rokok? Orang-orang kritis semacam Levy, Marimont, Hatton, Colby dan lainnya sepakat, bahwa tembakau atau rokok bukanlah penyebab utama dan bukan satu-satunya resiko segala macam penyakit seperti yang disebutkan oleh WHO.

“Semua biaya kampanye, baik secara langsung maupun tidak, didukung oleh korporasi-korporasi farmasi  global, sebab potensi pasar yang besar bagi produk penghenti merokok menarik minat industri farmasi”

Pada akhirnya, pertanyaan pun kembali digulirkan, masihkah kita percaya akan rekayasa selama ini yang terus disampaikan berulang-ulang? Apakah kita rela terjerumus dalam propaganda yang hendak membunuh negeri ini?

Ketahuilah bahwa puluhan juta rakyat Indonesia hingga hari ini hidup dari sektor produk hasil tembakau. Krena persoalan ini harus dilihat secara menyeluruh. Jika masih percaya pada propaganda mereka, apa bedanya Anda dengan para penjajah.

Selamat hari kebangkitan nasional!

Rizqi Jong

Sebats dulu bro...