Search
Petani Tembakau

Hari Kelahiran Pancasila vs Hari Antitembakau

Akhir-akhir ini, hiruk-pikuk politik di Negara Indonesia tercinta ini seolah bermuara pada persoalan yang paling mendasar, ya ‘Ideologi Pancasila’.  Beredar di jagat medsos, tuduh menuduh anti-pancasila hingga saling klaim sebagai pancasilais.  Tidak pernah jelas sejatinya, siapa yang pancasilais, dan siapa yang anti-pancasila.  Kita-kita semua sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tentunya tidak ada yang mau dituduh sebagai anti-pancasila, tetapi, juga tidak ada yang bisa membuktikan bahwa kita adalah ‘Pancasilais’.  Sejatinya, tidak pernah ada ukuran untuk menjustifikasi seseoarang sebagai pancasilais atau sebagai anti-pancasila.  Kecuali, dia yang tegas-tegas mendeklarasikan bahwa saya anti Pancasila.  Sebagaimana deklarasi para anti rokok, yang lebih jauh mendeklarasi sebagai anti-tembakau.

Hari ini, tepat tanggal 31 Mei, diperingati sebagai hari anti-tembakau.  Tidak hanya di Indonesia, hari anti-tembakau lebih merupakan perayaan (baca=kampanye) anti-tembakau di dunia.  Ironis, sebagai salah satu penghasil tembakau yang cukup terkenal, Indonesia lebih memilih untuk merayakan anti-tembakau dibandingkan dengan perlindungan tembakau.  Tidak pernah ada sama sekali yang berupaya merayakan tanggal 31 Mei sebagai hari perlindungan Tembakau.  Ya, tidak perlu dunia, minimal di Indonesia.  Padahal, jika dilihat berapa banyak negara ini dan masyarakat Indonesia telah menerima manfaat dari Tembakau. 

Tak dapat dipungkiri, satu-satunya industri yang menyelamatkan bangsa ini dari krisis moneter yang terjadi tahun 1998, adalah Industri Tembakau.  Pertanyaannya, apakah kemudian para penggiat di Industri Tembakau dikatakan sebagai Pancasilais?  Apakah mereka yang memperjuangkan tembakau dan kretek sebagai pancasilais? 

Saya sendiri, sebagai seorang yang memperjuangkan tembakau dan kretek, tidak lantas menyebut diri sendiri sebagai Pancasilais. Terutama, ketika perut saya dan keluarga saya lapar, ketika kebutuhan keluarga sangat besar. Apa yang berada diotak saya, adalah bagaimana usaha saya berjalan lancar, barang dagangan saya laku dengan harga yang tinggi. Ya, pada saat itu saya berpikir layaknya para kapitalis berpikir, mencari keuntungan sebesar-besarnya.  Tetapi, apakah saya akan terus berpikir layaknya para kapitalis? Tentu tidak, sebagai seorang yang meyakini ajaran agama akan sodaqoh, maka sebagai wujud berkeadilan sosial, sebagian keuntungan dari usaha saya pasti saya sodaqohkan

Baca Juga:  Mendiskreditkan Rokok Sebagai Budaya Tua Hanya Akal-akalan Pasar Obat

Pada titik itu, saya tidak lantas menyebut diri saya sebagai pancasilais, pun saya juga tidak mau menyebut diri saya sebagai kapitalis.  Saya hanya tahu, bahwa tolong menolong dan saling memberi adalah suatu ideologi mendasar dari arti kehidupan manusia di dunia.

Alih-alih, berpikir tentang hari perlidungan tanaman tembakau, Pemerintah Republik Indonesia, Presiden RI, lebih condong memilih perayaan hari lahir pancasila sebagai hari libur nasional.  Bahkan sebelumnya, Presiden telah merilis Video yang tegas menyatakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.  Sebelumnya, memang tidak pernah dijadikan hari lahir Pancasila sebagai hari libur Nasional.  Baru pada pemerintahan Presiden Jokowi ini, hari lahir Pancasila ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Peringatan hari lahir Pancasila sebagai hari libur Nasional berdasarkan pada Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, yang menetapkan bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila serta sekaligus menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur Nasional.  Momentum penetapan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, bertepatan dengan 1 hari setelah hari antitembakau sedunia, yakni 31 Mei.  Hari dimana para antitembakau di seluruh dunia, jelas termasuk Indonesia bersuka cita merayakan (baca=kampanye) untuk memusuhi tembakau.  Bahkan pemerintah pun dengan Kementerian Kesehatan ikut merayakan hari antitembakau bersama para aktivis antitembakau. Tidak ada yang memedulikan perasaan para petani tembakau di Indonesia.

Para petani tembakau yang merupakan masyarakat Indonesia, haruslah merasakan dilema yang mendalam.  Dilema sebagai masyarakat Indonesia yang harus merayakan hari lahir Pancasila tiap tanggal 1 Juni, tetapi tiap tanggal 31 Mei, harus bersiap menyambut hari antitembakau yang dirayakan oleh pemerintah dan para aktivis anti-tembakau. Mungkin berlebihan untuk mengatakan para petani tembakau berada dalam dilema yang mendalam, tetapi adakah kata-kata yang cukup untuk mewakili perasaan para petani tembakau?  Pun, Presiden lebih memilih untuk merilis video “Saya Indonesia, Saya Pancasila” serta menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, dari pada memikirkan perasaan petani tembakau yang tiap tanggal 31 Mei harus menyambut para antirokok dengan perayaan hari antitembakau-nya.

Baca Juga:  Muhammadiyah Tidak Paham Guna Ruang Merokok

Dari rilis video presiden “Saya Indonesia, Saya Pancasila” serta penetapan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, yang momentumnya tidak jauh dengan perayaan hari antitembakau, seolah membuktikan bahwa pemerintah pun tidak fokus pada perlindungan terhadap petani dan tanaman tembakau.  Padalah, mereka-mereka itu adalah Indonesia, yang bisa juga mengklaim sebagai “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.  Pertanyaannya perlukah?

Sebagai penutup dari tulisan ini, terlepas dari benar atau tidaknya 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, tepatkah kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia merayakan hari kelahiran Pancasila, sambil meneriakkan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Jauh dari itu semua, tidak cuma petani tembakau, seluruh petani di Indonesia masih banyak yang belum merasakan keadilan sosial. Di manakah letak Pancasila yang harus diperingati itu?

Pratnanda Berbudi
Latest posts by Pratnanda Berbudi (see all)