Press ESC to close

Menjadi Manusia yang Bukan Kalkulator

Ayah bekerja seumur hidup tanpa sesal untuk menghidupi keluarga. Dan Ayah menolak menjadi orang bodoh yang dikendalikan orang-orang sombong itu. Ayah tak menyesal. Itulah hidup Ayah.

Saya suka sekali dengan nasihat Vito Corleone kepada anakanya, Michael Corleone dalam film The Godfather bagian pertama itu. Satu percakapan yang intim dan menguras emosi: antara seorang bapak dan anak. Bagi yang akan melewati lebaran di rumah, salah satu adegan ini mungkin menjadi satu momen yang diharapkan dari banyak hal yang dinanti.

Setiap kita barangkali akan membayangkan: pagi, usai salat Ied kita akan duduk di teras rumah sambil menikmati ketupat lebaran sembari ngobrol ringan dengan orang tua kita. Si anak akan menanyakan keadaan kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. Dan bapak akan menanyakan kehidupan anak, menantu, dan cucu-cucunya yang sudah hidup jauh darinya.

Momen lebaran memang menguras emosi. Kehadirannya akan selalu dinanti oleh setiap kita yang merayakannya, meski itu harus merogoh kantong cukup dalam untuk beberapa hari yang cukup singkat. Tapi, sadar tidak sadar, uang nyatanya memang bukan segalanya. Semua kerja keras yang menyita waktu, tenaga dan emosi nyatanya memang harus kembali untuk hidup keluarga dan hal-hal yang tak berhubungan dengan nilai matematis.

Vito tentu saja menyadari itu. Ia, karena itu berkata, “Pria yang tak meluangkan waktu bersama keluarga bukanlah pria sejati”.

Saya tidak tahu, berapa rata-rata ongkos yang harus dikeluarkan satu keluarga atau seseorang yang akan mudik. Membaca tulisan Mas Iqbal yang menceritakan teman istrinya, bahwa untuk satu perjalanan mudik satu keluarga dari Yogya ke Lombok, hingga memakan ongkos Rp 15 juta, itu tentu bukan angka kecil. Jika nominal itu kita sesuaikan dengan gaji karyawan biasa di Jakarta, butuh berapa bulan untuk mengumpulkannya, atau berapa persen itu harus diambil dari uang tabungan? Tentu saya tidak tahu karena saya belum berkeluarga. Bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa, barangkali akan cukup hanya dengan membawa beberapa bingkisan lebaran untuk orang tua dan adik-adik di rumah.

Baca Juga:  Betapa Rokok Sangat Dicintai Oleh Media

Tahun ini jumlah pemudik diperkirakan mencapai angka 33 juta orang. Artinya, berapa dari kita yang masih waras, betapa hidup memang bukan hanya bicara untung rugi, dan nominal mata uang. Ada hal lain yang berhubungan dengan nilai etika. Tolok ukurnya mudah. Jika tidak melakukannya, maka akan tebersit di hati, ada perasaan tidak enak, “Gimana gitu”. Sebab, perasaan seperti itu berhubungan satu konsensus sebagai manusia yang berbudaya, dimana ada norma dan tradisi di dalamnya.

Makanya, saya sering dongkol sendiri kalau ada orang yang sering berseloroh, bahwa hidup hanya soal uang dan bicara untung rugi. Iya sih, kita memang harus pinter-pinter mengkalkulasi, berhitung untung dan rugi. Tapi kan, hidup kita bukan bisnis yang harus selalu dihitung berapa keuntungan dan kerugiannya. Iya enggak sih? Ongkos besar untuk mudik itu sebuah kerugian. Tapi, apakah kita lantas tidak menunaikannya? Mudik memang enggak wajib. Tapi pasti ada satu hal yang dirasa mengganjal, sebut saja perasaan tidak enak. Itulah kenapa terdapat dalam rukun Islam kewajiban untuk menunaikan zakat. Bukan hanya soal kewajiban. Dari aspek sosial terkandung nilai etika untuk berbagi dengan sesama.

Nah, persoalannya, nilai etika ini tidak mutlak. Artinya, setiap orang berhak memiliki pandangan etik dan prinsip yang berbeda. Tentu saja kita enggak bisa menyalahkan mereka yang tidak mudik. Orang tua tentu akan memahami bila anaknya yang belum bisa berkumpul pada lebaran tahun ini. Kita juga enggak bisa menghakimi mereka yang enggak mudik karena enggak merayakan hari lebaran. Semua orang berhak menentukan pilihan yang dianggap baik baginya. Maksud saya, tak ada yang salah dengan pilihan seseorang.

Baca Juga:  Benarkah Keluarga Perokok itu Boros?

Pada persoalan rokok pun agak mirip-mirip, terutama hubungannya dengan antirokok yang kerap melancarkan kampanye yang menistakan perokok. Saya tak membenci antirokok, bila mereka bisa mendidik masyarakat perokok dengan lebih arif: tanpa harus mengolok-olok, bahkan penghakiman, apalagi mendiskriminasi.

Namun menghakimi seseorang yang memilih menjadi perokok ini sama saja tidak menghargai pilihan atas haknya sebagai manusia merdeka. Antirokok juga mestinya tak perlu sibuk menghadirkan hitung-hitungan atas pilihan perokok, sebab keputusan seseorang untuk membeli rokok juga prinsip yang patut dihargai. Dan tentu pilihan sikap itu ditempuh bukan serta merta mengabaikan asas.  Apa lacur jika perokok bisa menikmati pilihannya dan memberi manfaat ekonomi bagi bangsanya.

Parahnya lagi, alih-alih demi hidup yang lebih baik, antirokok memaksakan paradigma kalkulatifnya, yang berujung menyalahkan pilihan perokok, bahwa kebiasaan merokok adalah perilaku pemborosan. Padahal sangat mungkin yang terjadi bisa sebaliknya. Bukankah apa pun yang dikonsumsi antirokok bisa saja dirisak dengan penghakiman serupa.

Bila ada orang yang tidak merokok dan mampu mampu memenuhi kebutuhan atau kemewahan yang lain, yang digadang-gadang itu didapat dari hasil menabung. Itu hal yang patut dihargai pula. Meski kita tidak tahu juga, perilaku hebat lain apa yang ditempuh selain budaya menabung. Setiap pilihan mengisyaratkan risiko yang sama, hanya penafsiran kita saja yang berlebihan. Seturut apa yang Pramoedya Ananta Toer pernah nyatakan, “hidup sungguh sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”.  

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut