Press ESC to close

Menjajaki Logika Koplak Antirokok

Yakinlah, kau akan menemukan logika-logika koplak dari kelompok antirokok dalam menjustifikasi rokok. Kok bisa?

Jadi gini, kerja antirokok sejak masuknya kepentingan FCTC di Indonesia layaknya buruh sinteron yang dituntut skema kejar tayang. Lihat saja, mulai dari wacana-wacana mereka dalam melabeli kawasan tanpa rokok, tanpa taat azas terkait pengadaan hak ruang untuk perokok, pula wacana untuk memangkas subsidi pendidikan dan kesehatan bagi keluarga yang merokok, bertentangan betul dengan azas sila kelima, aturan iklan rokok yang semakin dipersempit, yang artinya semakin memperkecil ruang penghidupan buruh periklanan. Hingga tagline-tagline tentang bahaya rokok semakin hari susah dinalar secara sehat, untuk tidak membilang tak berimbang lagi. Yang terakhir tentu saja kerjasama Komisi Pengendalian Tembakau dengan PT. Transjakarta lewat beriklan di bus-bus Transjakarta. Kabar kerjasama itu konon digratiskan oleh Pemprov DKI alias zonder biaya iklan.

Perubahan peringatan bahaya rokok pada bungkus rokok, dari yang semula, “Rokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, dan gangguan kehamilan dan janin,” menjadi “rokok membunuhmu,” dengan disertai gambar-gambar menakutkan terkait dampak rokok itu sudah tidak bisa dianggap wajar dan sehat sebetulnya. Bahkan jadi melampaui woro-woro BNN dalam memberi peringatan bahaya narkoba, misalnya—yang menurut saya lebih wajar.

Pada bus transjakarta, yang mengobral tagline “ngerokok cuma bakar uang” itu hanyalah suatu ungkapan absurd. Coba kalau antirokok berlaku serupa terhadap bahaya junk food, dengan membuat tagline kampanye “makan junk food bikin pendek pen** dan umur”. Konyol kan? Tapi kenapa tidak mereka lakukan kampanye konyol terhadap produk konsumsi lain yang juga memiliki risiko. Biar makin jelas absurditas macam apa yang tengah diulungkan skema antirokok. Tagline “merokok membunuhmu” adalah termasuk yang mengadopsi terminologi “smoking kills” secara mentah-mentah. Sejak tagline itu awal-awal dimunculkan, saya melihatnya sebagai hoax yang dilegitimasi pemerintah, pada akhirnya justru bikin saya membuang jauh-jauh harapan untuk meninggalkan rokok.

Baca Juga:  Hegemoni Antirokok di Indonesia, Terasa Sangat Fasis!

Bagi saya, tagline itu sudah melewati kehendak akal sehat, bahkan sekalipun kita melihatnya dalam kacamata ilmu medis. Bagaimana mungkin merokok bisa serta merta membunuh, alias merenggut nyawa.

Mestinya ada sekalimat penjelasan lanjutan. Misalnya, merokok membunuhmu jika kamu merokoknya di tengah jalan tol. Merokok membunuhmu kalau duitnya dapat nyolong dari kas warga korban bencana. Itu lebih masuk akal. Atau, keasikan merokok dapat mengakibatkan kelalaian berkendara, sehingga dapat mengakibatkan tabrakan beruntun. Tentu saja itu lebih logis.

“Ngerokok cuma bakar uang”. Ini aneh, bagaimana merokok bisa disamakan dengan bakar uang. Merokok ya merokok, masak merokok dibilang bakar uang. Kalau para antirokok itu mau bilang merokok cuma aktivitas yang sia-sia, tidak berguna dan lebih baik uangnya ditabung untuk membeli keperluan lain yang lebih berguna, ya apa susahnya tinggal bilang begitu. Tak usah pakai jargon absurd gitu kalee… Lalu jika saya tanya balik, apa ente, yang bukan perokok dan masih suka piknik makan junk food, apa itu zonder risiko yang merugikan kesehatan, memangnya adiksinya tak berpotensi buruk, baik dari segi kesehatan, sosial maupun ekonomi.

Baca Juga:  Bukannya Diedukasi, Pelajar Merokok di Kolase Gonzaga Disanksi Tidak Naik Kelas,

Tak kalah ngeheknya lagi, seorang anggota komisi DPR pada akhir Mei lalu pernah mengobral pernyataan tentang bahaya rokok bagi generasi masa depan. Rokok menurutnya dapat mengancam pembangunan karena dapat menurunkan produktivitas penduduk Indonesia. “Bonus demografi Indonesia tidak akan maksimal kalau anak-anak kita mulai merokok. Kita perlu khawatir saat ini karena perokok tidak hanya semakin banyak, tetapi juga semakin muda,” demikian ujarnya.

Ente bilang, merokok dapat menurunkan produktivitas seseorang. Yawla, Ini orang—anggota DPR pulak—ngomong kok asal copas aja sih. Ancaman produktivitas generasi muda bukan disebabkan oleh satu benda yang bernama rokok. Padahal gaya hidup hedonistik yang menjalari generasi di bawah aing jauh lebih mengancam lho, wahai Pak Pejabat. Memangnya produktivitas anak situ bagaimana, lebih ulet dari petani yang makin hari tanahnya tergusur pembangunan?

Saya enggak tahu, bakal seperti apa lagi peringatan-peringatan bahaya rokok yang akan terpampang di jalan-jalan, iklan televisi, atau bungkus rokok itu sendiri. Boleh jadi bunyi kampanye selanjutnya akan berganti lebih ekstrim, “merokok (bikin) masuk neraka.” Ndasmu koplak!

 

 

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut