Jika Anda sedang plesiran ke Jakarta dan Bogor, di dua kota ini Anda akan melihat teror-teror yang ditujukan kepada perokok dalam bentuk yang lebih besar dari dus rokok. Di Jakarta Anda akan melihat teror tersebut pada bus Transjakarta, sedangkan di Bogor anda akan melihatnya pada ratusan angkutan umum yang berseliweran. Teror pada moda transportasi umum tersebut digadang-gadang sebagai sebuah iklan layanan masyarakat.
Dalam hal ini saya lebih menyebutnya sebagai teror. Meski itu disebut-sebut sebagai iklan layanan masyarakat yang konon diinisiasi sebagai medium ‘edukasi’, namun lantaran muatan iklannya yang berisikan stigma negatif terhadap perokok, melalui gambar-gambar seram yang ambivalen dengan realitas yang saya alami. Maka lebih tepat saya katakan itu sebagai teror.
Iklan layanan masyarakat terkait rokok pada transportasi umum ini digagas oleh Komnas Pengendalian Tembakau yang bermitra dengan Pemerintah Daerah dan para pihak pengelola transportasi umum. Sebuah terobosan besar bagi kampanye antirokok yang selama ini mengaku sedang berjuang menurunkan angka perokok di Indonesia. Tapi meski kampanye mereka demikian gencar, toh data yang mereka sajikan justru jauh panggang dari api. Prevalensi perokok di Indonesia tetap saja besar, bahkan naik setiap tahunnya.
Jauh sebelum antirokok melakukan terobosan kampanye lewat transportasi umum, mereka juga sudah sangat kerap memproduksi kampanye serupa melalui penyelenggaraan iklan layanan masyarakat di media massa cetak maupun online, termasuk pula televisi dan radio. Padahal kita sama-sama tahu betapa mahalnya biaya produksi tayangan iklan semacam itu. Apalagi sampai membeli durasi tayang.
Dengan didukung pendanaan yang besar dari para raksasa industri kesehatan, kampanye perang terhadap rokok memang tak boleh terkesan sekadar. Betapapun mahalnya berkampanye lewat media massa, dana kampanye harus terus dirasionalisasikan. Garbage in garbage out. Perkara efektif atau tidak, yang penting laporan sesuai skema pendana. Meski seringkali mereka membahasakannya dengan sebutan edukasi. Justru secara metodologi tak sebangun dengan prinsip edukasi. Tentu saja edukasi dan teror adalah dua hal yang berbeda.
Merujuk pengertian edukasi dan teror dalam KBBI, edukasi adalah suatu hal yang berkaitan dengan pendidikan, sementara teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Secara kasat dimensi teror inilah yang lebih banyak digunakan oleh antirokok. Lihat saja peringatan-peringatan pada bungkus rokok yang gambarnya seram untuk membuat perokok merasa takut, ngeri, dan jijik karenanya. Serta tulisan ‘merokok membunuhmu’ secara gamblang meneror perokok lewat kata-kata yang mengancam.
Saya jadi teringat kampanye politik yang merepresi akal sehat publik semasa pilgub DKI Jakarta lalu, yang kata-katanya begini ‘pilih gubernur kafir, jenazah haram dishalatkan’. Bukankah keduanya sama-sama bersifat teror yang berimplikasi menimbulkan ketakutan serta keresahan di masyarakat, secara masif hal itu telah mencipta keterbelahan sosial, serta kegaduhan di berbagai ruang.
Teror yang direproduksi secara terus-menerus oleh antirokok lewat berbagai bentuk itu, terutama melalui tayangan iklan layanan masyarakat, mulai dari yang mengeksploitasi keadaan orang sakit, sampai upaya playing victim dengan memanfaatkan anak di bawah umur. Mencerminkan watak politik kampanye antirokok. Selebrasi derita dalam berita. Sebuah upaya mengkonstruksi empati mangsa pasar.
Tentu hal itu menimbulkan pertanyaan di benak saya, terkait kebenaran di baliknya, benarkah si korban mutlak berpenyakit macam-macam disebabkan aktivitas merokok? Benarkah si anak yang diisyaratkan sebagai korban semata-mata karena perokok dan lingkungannya miskin etika?
Jelas teror semacam itu memiskinkan akal sehat publik. Stigma negatif terhadap perokok terus saja didesakkan ke dalam pikiran banyak orang. Perokok disebut-sebut sebagai orang pesakitan. Kalau ada orang yang kena penyakit bengek, pertanyaan klisenya akan diawali “Anda perokok?” kalau Ia bukan perokok, pertanyaan selanjutnya “di sekitar Anda ada yang merokok?”.
Tak berhenti sampai di situ. Setelah berhasil membuat regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR), teror-teror itu diperluas lagi daya jangkau dan kawantitasnya. Mulai dari taman, sekolah, transportasi umum, dijejali poster larangan merokok, disertai gambar seram terkait dampak merokok. Kalau di lingkungan rumah sakit ya jangan ditanya lagi, pembesuk yang ingin merokok diharap puasa dulu dari rokok.
Belakangan iklan layanan masyarakat pada transportasi umum, semisal bus Transjakarta dan angkutan umum di Kota Bogor turut gencar dikondisikan. Membaca muatan iklan itu secara selintas, praktis masyarakat meresepsinya bukan lagi sebagai himbauan. Kesadaran yang dibangun secara represif hanya akan membiakkan pembangkangan.
Biar bagaimana pun merokok tetaplah aktifitas legal. Mestinya titik tekan iklan layanan masyarakat yang mengedukasi perokok sebangun dengan regulasi yang diamanatkan. Semisal terkait penyediaan ruang merokok, mestinya membahasakan dengan; “merokoklah di tempat yang sudah disediakan”, agar terbangun perilaku etik di kalangan perokok. Tapi apa pernah ada iklan antirokok membahasakan itu. Jangan kita harap itu terjadi. Karena isyarat penyediaan ruang merokok bagi antirokok merupakan kegagalan absolut dalam merasionalisasi agenda tersembunyi mereka.
- Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan - 13 November 2017
- Merokok Adalah Aktivitas Legal, Ini Landasan Dasarnya - 6 November 2017
- Cacat Logika Pemerintah Dalam Menaikkan Tarif Cukai Rokok - 23 October 2017