Lagi-lagi Kota Bogor menjadi pelopor wacana yang nyeleneh terkait persoalan rokok. Kali ini Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor mewacanakan memperluas kawasan tanpa asap rokok hingga ke area rumah tangga dalam revisi Peraturan daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Meskipun kedengarannya mustahil untuk dilakukan, tapi merebaknya isu larangan merokok hingga area rumah tangga ini tak bisa dianggap remeh. Sebab isu-isu seperti ini dibiarkan merebak untuk menebar ancaman terhadap perokok di Kota Bogor, syukur-syukur bisa sampai tataran nasional.
Kota Bogor memang sedang asyik dengan hal-hal yang berbau pengendalian tembakau. Bahkan Perda KTR Kota Bogor menjadi prototype bagi Perda KTR daerah lainnya. Setelah disanjung-sanjung sebagai daerah yang antirokok, capaiannya kini semakin tinggi, yakni Kota Bogor menjadi satu wacana isu pengendalian tembakau di Indonesia.
Punya target sebagai daerah prototype antirokok di Indonesia, tak heran jika isu-isu sensasional terkait persoalan rokok seringkali digulirkan agar Kota Bogor menjadi perhatian nasional. Ya sebelum jadi terkenal, pencitraan itu penting. Meskipun isu sensasional yang digulirkan sering terdengar tidak masuk akal, tapi itu urusan lain, yang penting jadi perhatian nasional toh.
Seperti halnya wacana larangan merokok yang diperluas hingga kawasan rumah tangga yang akan dimasukkan ke dalam revisi Perda KTR Bogor, karena ini barulah sebatas isu sensasional yang dihembuskan, maka akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah aturan ini akan benar-benar masuk ke dalam revisi Perda KTR? Atau kalau sudah masuk jadi Perda, apakah Pemkot Bogor yakin bahwa aturan ini dapat diterapkan dengan baik?
Jika dicermati melalui berbagai media yang mewartakan isu tersebut, Pemkot Bogor terkesan sangat percaya diri aturan ini bisa diterapkan, sehingga kemungkinan lolosnya besar. Dengan segala argumentasinya di hadapan awak media, Pemkot Bogor berbicara tegas sebagaimana sedang berusaha menangani kejahatan macam narkoba, kekerasan terhadap anak atau suatu wabah penyakit yang sudah sampai tingkat KLB (Kejadian Luar Biasa)
Kenapa pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan? Jadi begini, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Kota Bogor sedang cari muka dengan melakukan pencitraan agar terlihat sebagai daerah yang sangat mendukung pengendalian tembakau. Ya namanya juga pencitraan, sebuah upaya politis dalam rangka memanipulasi perhatian banyak orang.
Pertanyaan bahwa akankah aturan larangan merokok di kawasan rumah tinggi ini akan masuk ke dalam revisi Perda KTR, jawabannya adalah tidak mungkin untuk disahkan. Kota Bogor dikesankan “berdarah dingin” terhadap rokok dan perokok oleh Pemkotnya, tetapi mengesahkan Perda yang mengatur ranah privat jelas suatu kemustahilan. Mengapa mustahil? Sebelumnya Bima Arya selalu mengatakan bahwa Pemkot tidak memiliki kekuatan untuk mengatur hal-hal privat masyarakatnya. Tentu saja apa yang dikatakan Bima arya itu benar. Hal-hal privat itu menurut amanah konstitusi dilindungi dan tidak boleh diganggu oleh siapapun.
Sebagaimana disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD 1945 sebagai berikut:
“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.
Artinya Bima Arya sebenarnya sadar bahwa mengatur ranah privat masyarakatnya bertentangan dengan konstitusi, kecuali Pemkot Bogor mau melawan konstitusi dengan tetap ngotot menerbitkan peraturan tersebut, ya kali kan Perda mau melawan Undang-undang. Tapi karena isu larangan merokok di ranah privat ini sudah kadung tersebar, maka isu ini dapat dimanfaatkan untuk mendompleng Kota Bogor menjadi perhatian nasional terkait Kawasan Tanpa Rokok-nya.
Hal lainnya yang membuat mustahil peraturan tersebut disahkan adalah antara Pemkot Bogor dan DPRD Kota Bogor sebenarnya tidak satu suara dalam wacana ini. Pada saat diwawancarai oleh awak media terkait wacana larangan merokok di ranah privat, Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor Adityawarman Adi menanggapi bahwa usulan itu pernah digaungkan, namun hingga kini rancangannya belum sampai ke meja Badan Legislasi Daerah (Balegda). Ia juga mengatakan untuk fokus kepada penegakan Perda KTR yang sudah ada di ranah-ranah publik.
Jika Bima Arya mengatakan bahwa DPRD sudah mendukung dan menyetujui terkait wacana tersebut masuk ke dalam revisi Perda KTR, justru yang terjadi sebenarnya adalah wacana tersebut banyak mendapat tentangan dari DPRD, bahkan juga banyak pihak. Lagi-lagi seperti yang dikatakan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor, selama ini Pelaksanaan Perda KTR di ruang publik saja masih kurang becus. Tak hanya itu, amanat Undang-undang tentang penyediaan ruang merokok pun masih diabaikan.
Lalu menjawab pertanyaan, seandainya jika wacana tersebut benar-benar disahkan dalam Perda KTR Kota Bogor, maka dapatkah Pemkot Bogor menerapkannya dengan baik, jawabannya juga tidak mungkin bisa diterapkan dengan baik. Mengapa? Tentu saja tolok ukurnya bisa dilihat dari pelaksanaan Perda KTR di ruang publik yang secara pelaksanaan tidak berjalan dengan baik. Perkara ruang merokok misalnya, Pemkot Bogor selalu mengabaikan perihal salah satu amanat konstitusi dalam peraturan KTR ini. Galak tapi salah kaprah. Padahal amanat ruang tersebut merupakan langkah win win solution.
Kalau Perda KTR di ruang publik saja masih angot-angotan, lalu bagaimana bisa mau memperluas hingga kawasan rumah tangga? Apakah Pemkot Bogor punya sumber daya untuk mengawasi setiap sudut rumah masyarakatnya satu-persatu? Apakah itu tidak mendapatkan tentangan dari masyarakat karena dianggap sesuatu yang berlebihan serta mengganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban masyarakat? Pikir!
Sudahlah untuk bapak Bima Arya beserta jajarannya yang terhormat, jangan membuat masyarakat resah dengan hembusan isu demikian. Jalankan Perda KTR sesuai dengan hukum perundang-undangan yang berlaku, tak usahlah over acting kayak gitu, jika Perda KTR dijalankan dengan baik, itu saja sudah cukup membuktikan integritas. Bapak itu pemimpin daerah lho, bukan lagi pemain sinetron, jangan kelebihan ngekting.
Paradoksnya, di tengah ingin mencitrakan Kota Bogor sebagai kota yang sehat, lha kok terungkap di media ada bocah berusia 2 tahun yang tinggal hanya 4 kilometer dari Istana Bogor mengalami gizi buruk. Sehat, Pak?
- Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan - 13 November 2017
- Merokok Adalah Aktivitas Legal, Ini Landasan Dasarnya - 6 November 2017
- Cacat Logika Pemerintah Dalam Menaikkan Tarif Cukai Rokok - 23 October 2017