Press ESC to close

Menaikkan Tarif Cukai Tembakau adalah Omong Besar

Menaikan tarif cukai setinggi-tingginya merupakan salah satu poin yang tercantum dalam naskah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Poin tersebut dianggap sebagai solusi untuk menurunkan jumlah prevalensi perokok. Selain itu, iming-iming negara akan mendapatkan keuntungan besar dari cukai rokok yang naik juga menjadi jargon yang selalu diteriakkan. Sekilas memang terlihat baik dan tidak bermasalah sama sekali. Namun benarkah demikian adanya?

Mari kita lihat lebih dalam lagi poin kenaikan tarif cukai ini. Dikarenakan setiap tahunnya isu kenaikan tarif cukai muncul dengan mengarahkan desakan tersebut kepada pemerintah, dan desakan tersebut mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Padahal masyarakat tidak diberikan penjelasan yang komprehensif, sehingga distribusi informasi persoalan wacana kenaikan tarif cukai hanya bersumber dari pihak yang berkepentingan terhadap pengendalian tembakau.

Pengertian cukai dalam undang-undang nomor 39 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 mengatakan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang. Cukai sendiri dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan Republik Indonesia. Barang kena cukai meliputi:

  1. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya
  2. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol
  3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan atau bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.

Rokok atau produk hasil tembakau menjadi salah satu pemasukan negara yang strategis, setiap tahunnya cukai rokok menyumbangkan hampir 97 persen dari total keseluruhan pemasukan negara dari sektor cukai.

Tetapi rokok menjadi dilematis karena dituding oleh pihak kesehatan sebagai musuh bagi masyarakat. Meskipun hal yang terjadi sebenarnya adalah persoalan kepentingan bisnis industri kesehatan terhadap tembakau. Apalagi dengan adanya traktat internasional terkait pengendalian tembakau. Tembakau dan produk hasil tembakau lainnya (rokok) akhirnya kian tersudut dengan butir-butir isi naskah traktat FCTC tersebut. Salah satunya dengan apa yang disebut di atas yaitu, menaikkan tarif cukai rokok setinggi-tingginya.

Baca Juga:  Berikut Cara Membuat Asbak Dari Bungkus Rokok

Ada hal yang menarik terkait desakan menaikkan tarif cukai rokok, hal tersebut datang dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) yang mengatakan kenaikan cukai rokok tidak berakibat menurunnya produksi di Indonesia tapi berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) para buruh dan petani di sektor industri hasil tembakau (bersumber dari Antara 28 Juli 2017).

Brengseknya adalah apa yang dikatakan oleh Komnas PT bertentangan dengan apa yang selalu didengungkan terkait wacana menaikkan tarif cukai rokok selama ini. Jika tadinya menaikkan tarif cukai rokok acapkali dikatakan akan menurunkan produksi rokok dan prevalensi perokok di Indonesia, nyatanya memang benar adanya hal tersebut hanya bohong belaka.

Sebab menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi perokok dari 27% pada tahun 1995, meningkat menjadi 36,3% pada tahun 2013. Artinya perokok di Indonesia meskipun disudutkan berbagai regulasi, seperti Peraturan daerah Kawasan tanpa Rokok (Perda KTR) tetap saja prevalensi perokok tetap meningkat. Mengapa demikian? Karena memang menghisap tembakau apalagi kretek sudah menjadi bagian warisan budaya masyarakat Indonesia.

Dan terbukti dengan adanya regulasi yang menekan para perokok justru tidak efektif, dikarenakan hanya digunakan sebagai alat untuk merampas dana pajak rokok dan dana hasil cukai tembakau atas nama kesehatan masyarakat.

Sementara di sisi lainnya, jumlah produksi rokok di Indonesia sebenarnya mengalami penurunan jumlah produksi. Apalagi sejak Roadmap Industri Hasil Tembakau yang digagas oleh Kementerian Perindustrian telah dicabut tahun lalu yang menyebabkan produksi rokok harus lebih dibatasi. Di tahun 2016 saja menurut Dirjen Bea Cukai jumlah produksi rokok menurun 6 miliar batang atau dari 348 miliar batang menjadi 342 miliar batang.

Baca Juga:  Siapapun yang Menang Pilkada, Sediakan Ruang Merokok!

Jadi jelas-jelas produksi rokok yang sudah ketat dibatasi, tentunya setiap tahun akan dikurangi volume jumlah produksinya. Maka bohong adanya jika menaikkan tarif cukai rokok tidak akan berdampak menurunnya jumlah produksi, tentu saja akan menurun secara signifikan, wong belum dinaikkan saja sudah turun kok jumlah produksinya.

Adapun perkara kenaikan tarif cukai tembakau melindungi buruh dan petani di sektor IHT, sudah benar adanya bahwa apa yang dikatakan oleh Komnas PT justru malah menyebabkan PHK. Sebab jika volume produksi menurun, tentu jumlah pekerja akan dikurangi oleh pabrikan, logika yang sangat sederhana bukan?

Yang terakhir adalah negara akan dirugikan jika tarif cukai tembakau dinaikkan. Sebab hal tersebut akan membuat lesu dunia industri. Akan juga lebih besar pasak daripada tiang. Memang besar jumlah yang diterima oleh negara dari tahun sebelumnya. Tapi itu tak akan bertahan lama. Pada akhirnya negara akan kehilangan potensi strategis pemasukan negara dari cukai rokok yang sudah dilakukan selama ini. Jadi masih mau percaya sama omong besar wacana kenaikan tarif cukai tembakau?

Azami Mohammad

Doyan aksi meski sering dipukul polisi