Search
satpol keple

Jurus Nabok Nyilih Tangan: Siasat Adu Domba pada Isu Pelarangan Iklan Rokok

Tahun 2010 Pemda DKI menerbitkan aturan tentang penutupan smoking area di tempat-tempat umum yang tertuang dalam Pergub 88/2010. Peraturan itu menggantikan Perda 75/2005 yang intinya mewajibkan semua tempat umum di Jakarta menyediakan ruang khusus merokok.

Penyediaan ruang merokok adalah langkah yang fair, dimana perokok mendapatkan tempat yang legal untuk mengkonsumsi rokok sebagai barang legal dengan tidak mengganggu orang yang tidak merokok. Selain membongkar tempat-tempat merokok melalui pergub ini juga dimuat peraturan pelarangan iklan di tempat-tempat terbuka. Peraturan tentang pelarangan memasang iklan rokok didalam ruangan ada di Pergub 244/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pajak Reklame.

Jakarta sebagai ibukota Indonesia adalah salah satu tujuan utama kampanye anti rokok. Selain Jakarta serta kota-kota yang menjadi percontohan adalah Padang Panjang dan Bogor. Setelah agenda pengendalian di Jakarta dianggap selesai dengan terbitnya Pergub 88/2010 resepnya segera dibawa ke Bali dan Yogyakarta.

Sebagai kota internasional Bali dan Yogyakarta mempunyai posisi strategis sebagai sarana promosi kampanye anti rokok di Indonesia. Pegiat kampanye anti rokok mendesak masing-masing Pemda untuk menerbitkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang ketat untuk memuaskan pemberi anggaran kamapanyenya.

Kampanye penutupan ruang merokok di tempat-tempat umum ini didasarkan atas survey yang dilakukan YLKI terhadap perokok di Jakarta yang menghendaki ditutupnya tempat merokok di Jakarta. Agak aneh memang hasil surveinya pada waktu itu, masak perokok minta ditutup ruang merokoknya. Tapi ya gimana lagi Pak Foke dengan sigap meneken Pergub itu.

Untuk memastikan terlaksananya Pergub 88/2010 mesin penggerak kampanye ini adalah Swisscontact dan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Dua lembaga yang dipinjam oleh gerakan kampanye anti rokok sebagai penerima dana dari Bloomberg Initiatives dengan program yang dikemas dalam “Smoke Free Jakarta.” Dulu kampanye ini mengajak mitra teknis BPLHD DKI Jakarta (sekarang dilebur menjadi Dinas Lingkungan Hidup, hasil merger BPLHD dengan Dinas Kebersihan).

Saat ini pegiat kampanye anti rokok sedang bergerilya di Jakarta lagi dengan mengajak Satpol PP DKI Jakarta untuk menertibkan iklan rokok di dalam ruangan. Ya Satpol PP diajak menginisiasi wacana penertiban pelarangan iklan rokok dalam ruang dengan alasan untuk menegakkan Perda. Lembaga yang dulu menjadi mitra teknisnya, BPLHD sesudah dimerger dengan Dinas Kebersihan dan menjadi Dinas Lingkungan Hidup, tupoksinya tidak lagi berhubungan langsung dengan urusan rokok. Masih banyak soal lingkungan hidup dan kebersihan yang jauh lebih penting dan lebih besar untuk diselesaikan daripada sekedar menjadi satgas “Smoke Free Jakarta.”

Baca Juga:  Sisi Jahat Kampanye Antirokok yang Tak Boleh Dibiarkan

Dari faktor dukungan politik kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memberi peluang lebih besar kepada kegiatan kampanye anti rokok. Sandi yang paling menonjol dalam isu ini sudah beberapa kali mengeluarkan statement yang mempunyai sentimen negatif terhadap rokok. Saat Ahok menjadi gubernur jelas batu sandungan bagi kampanye anti rokok, meskipun Ahok juga menerbitkan peraturan yang ketat dalam mengatur perokok di ruangan, namun Ahok tidak bisa mereka kendalikan sepenuhnya.

Ahok meletakkan rokok sebagai komoditas legal. Memang harus dibatasi, tapi sekali lagi rokok adalah barang legal. Konsekuensi dari barang legal ada hak-hak yang melekat secara absolut dan dilindungi Undang-undang. Sehingga tidak mungkin wacana pelarangan iklan dalam ruang sekonyol ini bisa melenggang mulus di hadapan Ahok.

Dalam mendorong wacana pelarangan iklan ini pijakan akademis yang digunakan adalah survey yang dilakukan FAKTA di toko-toko ritel modern. Dari hasil survei itu FAKTA menyatakan masih ditemukan iklan rokok di hampir semua ritel-ritel modern.

Selain pijakan akademis ada juga pijakan hukum dalam mencari cara memojokkan produk tembakau. Dalam hal ini pijakan yang hukumnya ada di Pasal 45 ayat 1 Pergub 244/2015. Dan yang menarik pada pasal 45 ayat 4-nya menyatakan makanan dan minuman yang mengandung alkohol masih boleh memasang iklan di dalam ruangan pada tempat-tempat yang diijinkan menjual makanan atau minuman yang mengandung alkohol.

Tentu setiap wacana pelarangan atau pembatasan yang mempunyai implikasi terhadap mata pencaharian orang lain harus dikaji lebih jauh dan lebih teliti lagi. Apalagi ancaman yang ditambahkan adalah menyegel toko. Tapi hal itu bagi Satpol PP sudah biasa. Bagi Satpol PP Perda adalah segalanya, meskipun yang mereka pahami atas Perda hanya menggusur dan menyegel bangunan saja. Tentang bagaimana mereka sebagai aparatur negara harus melayani dan mengayomi masyarakat di luar kapasitas berpikir mereka.

Saya coba cek ke Indomaret dan Alfamart, iklan yang dimaksud ternyata ada di etalase rokok di belakang kasir yang biasanya terletak di belakang kasir. Dan saya membayangkan andai saja perusahaan-perusahaan rokok mau melanggar pasal di Pergub yang mengatur reklame di Jakarta mereka tinggal mengecat seluruh toko-toko ritel modern itu dengan brand mereka. Saya yakin perusahaan-perusahaan itu mau dan mampu jika diperbolehkan. Tapi peraturan melarang itu, dan mereka mengikuti tanpa ada pembangkangan.

Baca Juga:  RPP Kesehatan: Biang Masalah bagi Industri Hasil Tembakau

Toko ritel modern itu berjajaring di seluruh Indonesia. Dalam regulasi nasional pun iklan rokok yang numpang di etalase seperti yang tampak pada toko-toko ritel modern itu tidak ada larangannya baik di Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan pengendalian tembakau. Kalaupun harus diatur ya diatur dengan sebaik-baiknya, misalnya khusus untuk toko-toko ritel modern di wilayah DKI Jakarta harus berukuran sekian, atau jika masih keberatan ya tinggal peletakannya yang dipindah atau silakan cari solusi yang adil untuk semua.

Strategi kampanye anti rokok yang tertuang dalam Pergub 88/2010 adalah jurus “nabok nyilih tangan.” Yaitu mereka tidak langsung berhadapan dengan perokok tapi pengelola gedung yang harus berhadapan dengan perokok. Jika di suatu gedung kedapatan orang yang merokok maka pemilik gedung yang akan dikenai sangsi, yang terberat adalah pencabutan izin operasional gedung tersebut. Pusat Grosir Cempaka Mas yang pernah mengalami kasus ini. Mereka digugat oleh YLKI karena di food court masih memperbolehkan orang untuk merokok.

Pelarangan iklan sebagai isu besar yang harus dikawal oleh seluruh pegiat kampanye anti rokok pada tahun 2017 ini adalah isu internasional. Sebagai agenda yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang sudah menandatangani traktat pengendalian tembakau tersebut.

Di Indonesia karena tidak menandatangani FCTC maka oleh pegiat kampanye anti rokok peraturan-peraturan itu dijejalkan melalui peraturan-peraturan yang bisa mereka kondisikan untuk mengakomdir kepentingan mereka. Setelah strategi “Nabok Nyilih Tangan” ala Pergub 88/2010 saat ini yang akan mereka mainkan adalah mengadu Satpol PP dengan pengusaha ritel di Jakarta. Jadi untuk Satpol PP saya ucapkan selamat bertempur, semoga perda jaya selalu.

 

Zulvan Kurniawan