Desas-desus nasib kretek yang kian terancam nyaring dikabarkan oleh pelbagai media massa. Pasalnya, tempo hari pelaku industri dikejutkan dengan diakuisisinya 100% saham PT Karyadibya Mahardhika (KDM) dan PT Surya Mustika Nusantara (SMN) senilai US$ 677 juta oleh perusahaan rokok multinasional Japan Tobacco Inc. Kedua perusahaan yang diakuisisi tersebut adalah anak usaha dari PT Gudang Garam Indonesia Tbk (GGRM). Lantas berbagai pihak banyak yang mempertanyakan bagaimana nasib kretek yang dianggap sebagai entitas perokok di Indonesia ke depannya.
Memang benar adanya kian hari konsumsi kretek berjenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami penurunan. Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa postur pasar rokok di Indonesia tidak lagi dikuasai oleh SKT, melainkan yang terbesar adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM). Untuk postur pasar Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 66%, Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 26%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 6%, dan lainnya sebesar 1%.
Dahulu memang kretek berjenis Sigaret Kretek Tangan digandrungi oleh khalayak luas, meskipun sampai dengan hari ini SKT masih tetap digandrungi, hanya saja mulai berkurang dikarenakan beralihnya konsumsi masyarakat ke SKM. Konsumen menganggap SKM lebih praktis untuk dikonsumsi, bisa dikonsumsi dengan waktu singkat, dan rasanya pun tak jauh berbeda dengan SKT. Lalu kenapa bisa terjadi peralihan konsumsi dengan alasan sedemikian rupa?
Tentu hal tersebut ada sebab-musababnya. Mulai ramainya konsumsi SKM di Indonesia berada pada rentang waktu tahun 90-an sampai dengan tahun 2000-an. Bukan berarti di tahun sebelumnya produksi SKM belum dimulai, bahkan sudah ada sejak tahun 70-an yang pada saat itu dikenal sebagai konsumsi masyarakat kelas atas.
Ketika SKM tak lagi hanya menjadi konsumsi kalangan kelas atas, tren konsumsi SKM pun perlahan-lahan mulai naik. Hal tersebut kemudian oleh pihak industri yang melihat bahwa SKM akan menjadi pasar potensial di Indonesia. Tetapi selain pengaruh tren konsumsi yang berubah, terdapat hal yang paling penting untuk diketahui, yakni pengaruh kebijakan pemerintah atas rokok di Indonesia.
Dunia internasional sedang ramai memperbincangkan rokok sebagai biang masalah di dunia. Didorong oleh World Health Organization (WHO) dan kompatriot industri-industri farmasi yang menyerukan kampanye mengenai Anti Tobacco. Lahirlah berbagai macam hasil penelitian yang didesain seolah-olah rokok adalah produk yang berbahaya bagi umat manusia. Ditambah diseminasi hasil penelitian tersebut disuarakan melalui corong-corong pakar kesehatan dan para dokter yang dianggap otoritatif dalam bidang kesehatan oleh masyarakat.
Alhasil, di tahun 1999 keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Peraturan yang dikeluarkan di era B.J Habibie ini untuk pertama kalinya peraturan yang mengatakan bahwa rokok adalah produk berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Jika diperhatikan secara saksama, peraturan yang keluar ini senada dengan apa yang sedang dikampanyekan oleh antirokok.
Sejak saat itulah perlahan-lahan rokok dibenturkan dengan permasalahan kesehatan di Indonesia. Tak hanya itu, akses untuk merokok pun mulai dibatasi yang terlihat pada pasal 23-25 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Apalagi dikemudian hari juga muncul regulasi mengenai pembatasan kadar TAR dan nikotin di dalam rokok. Dampaknya adalah perokok mulai distigmakan secara negatif, akses merokoknya dibatasi, dan kretek tangan sebagai produk yang memiliki kadar TAR dan nikotin yang tak sesuai dengan regulasi perlahan-lahan mulai tergeser postur pasarnya.
Maka jika melihat konsumsi kretek tangan yang beralih ke konsumsi kretek mesin, yang harus ditunjuk hidungnya adalah pemerintah. Karena dari regulasi-regulasi yang disebutkan di atas, menyebabkan pola konsumsi rokok masyarakat bergeser. Meskipun tetap saja kretek masih menjadi konsumsi terbesar perokok di Indonesia, hanya bergeser jenisnya saja.
Nah desas-desus bahwasanya kretek sedang terancam dengan melihat variabel pabrikan kretek yang diakuisisi perusahaan multinasional, konsumsi SKT yang menurun sehingga banyak pabrikan SKT yang gulung tikar, hingga regulasi yang tidak berpihak, dapat dikatakan kretek memang sedang terancam.
Persoalan akuisisi perusahaan multinasional terhadap pabrikan kretek selain daripada urusan bisnis, namun juga terdapat sisi bahwa dapur pabrikan yang tak lagi ngebul seperti dahulu dengan ketatnya regulasi dan besarnya arus kampanye pengendalian tembakau. Tentu saja juga agar mata rantai orang-orang yang hidup dari kretek tetap dipertahankan. Meskipun tetap saja risiko efisiensi pekerja, perubahan produksi kretek, dan hal-hal lainnya tak dapat dihindari. Jadi ini seperti pisau bermata dua.
Untuk persoalan regulasi dan arus kampanye pengendalian tembakau memang sudah menjadi seting untuk menghancurkan kretek di Indonesia. Namun, kretek sudah berkali-kali menghadapi permasalahan besar, mulai dari iklim perekonomian yang tidak baik, dicurangi oleh banyak pihak, pasokan bahan baku yang sering kali terganggu, dan lainnya. Tapi nyatanya hingga sekarang kretek masih bisa bertahan di Indonesia. Karena jika melihat lebih dalam lagi mengenai kretek, Indonesia terlihat pada spirit dan gagasannya. Ya kretek adalah Indonesia.
- Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan - 13 November 2017
- Merokok Adalah Aktivitas Legal, Ini Landasan Dasarnya - 6 November 2017
- Cacat Logika Pemerintah Dalam Menaikkan Tarif Cukai Rokok - 23 October 2017