Baru-baru ini Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek menyoroti persoalan perbekalan rokok para Calon Jamaah Haji (CJH) yang akan berangkat ke tanah suci. Ia menyoroti bahwa angka perokok di kalangan CJH begitu tinggi, selain itu pemerintah Indonesia menurutnya sering ditegur oleh pemerintah Arab Saudi karena persoalan rokok jamaah haji Indonesia. Lalu mengapa persoalan tersebut menjadi krusial di kalangan CJH bagi seorang Menteri Kesehatan?
Apa yang disorot oleh ibu Menteri Kesehatan (Menkes) mengenai angka perokok CJH tinggi, hubungannya kemudian ditarik kepada meningkatnya jumlah perokok pemula dan usia remaja 15-16 tahun yang terus bertambah. Lhoh lhoh, darimana hal itu bisa berelasi?
JawaPos.com yang melansir berita di atas (Arab Saudi Tegur Pemerintah Indonesia Karena Jamaah Haji Suka Merokok), menuliskan munculnya perokok pemula dan usia remaja ini disebabkan oleh para orang tua yang tidak memberi teladan bagi anaknya. Artinya, para CJH yang merokok ini adalah orang tua yang tidak teladan, merekalah penyebab munculnya perokok pemula. Kira-kira begitulah logika yang menjelaskan korelasi di atas.
Darimana datangnya logika yang menjelaskan korelasi tersebut? Entahlah, tidak jelas apakah memang benar logika tersebut datangnya dari ibu Menkes atau sekedar opini yang ditambahkan sendiri oleh Jawa Pos. Karena memang tidak jelas kalimat mengenai meningkatnya jumlah perokok pemula yang disebabkan perilaku orang tua tidak memberi teladan bagi anaknya, didapat dari ungkapan ibu Menkes atau bukan.
Namun terlepas dari hal apapun, angka perokok CJH yang tinggi sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan adanya peningkatan jumlah perokok pemula. Apalagi menuding bahwa mereka adalah orang tua yang tidak teladan merupakan salah besar. Mengapa? Karena orang tua yang merokok merupakan pilihan konsumsi yang diperbolehkan oleh negara. Mereka sudah mencapai batas umur dan sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai tanggung jawab sosial. Adapun munculnya perokok pemula, yang harus dikuatkan adalah nilai edukasi orang tua kepada anak mengenai kapan seorang anak boleh mengonsumsi rokok dan tanggung jawab sosial yang akan diembannya. Bukan malah orang tua dituding tidak memberi teladan kepada anaknya.
Kalau untuk persoalan meningkatnya jumlah perokok pemula dan remaja usia 15-16 tahun merupakan persoalan yang menjadi tanggung jawab banyak pihak. Mulai dari pemerintah yang menghimbau para pedagang agar tidak menjual rokok kepada anak dibawah umur 18 tahun. Lalu proses edukasi yang baik dari pemerintah, industri, pedagang, dan orang tua kepada anak di bawah umur mengenai batasan umur boleh merokok. Edukasi loh ya, bukan malah dilarang-larang dengan menakut-nakuti dan mengancam anak-anak.
Jadi logika yang menghubungkan antara angka perokok jamaah haji Indonesia tinggi dengan meningkatnya perokok pemula dan usia remaja jangan lagi disambung-sambungkan seolah-olah hal tersebut premis yang bisa diamini.
Selanjutnya, pada persoalan ibu Menkes bahwa pemerintah Indonesia kerap ditegur pemerintah Arab Saudi karena persoalan rokok, dalam pemberitaan di atas tegurannya berupa desakan terkait larangan rokok kepada jamaah haji Indonesia. Menanggapi apa yang disampaikan oleh ibu Menkes tersebut, ada satu pertanyaan yang tercetus untuk menanggapinya. Pertanyaannya, apakah teguran larangan tentang rokok kepada jamaah haji itu benar disampaikan oleh pemerintah Arab Saudi atau itu statement yang datang dari ibu Menkes?
Munculnya pertanyaan tersebut disebabkan tidak ada satupun peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi yang melarang rokok jamaah haji Indonesia. Adapun peraturan yang ada mengenai rokok adalah pembatasan jumlah rokok yang dibawa oleh para jamaah haji. Hal tersebut memang merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas.
Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa ketentuan barang yang dibawa dalam penimbangan barang bagasi jemaah sesuai dengan aturan, berat tidak boleh lebih dari 32 kg. Peraturan ini memang lumrah diterapkan bagi warga negara Indonesia yang akan bepergian ke luar negeri. Tidak jauh berbeda, seperti tidak boleh membawa senjata tajam, barang yang masuk ke dalam kabin hanya 7 kg dan barang tersebut adalah barang bebas pajak.
Adapun dari pemerintah Arab Saudi menerapkan aturan khusus untuk rokok. Hal tersebut dijelaskan oleh Kepala Sub Bagian Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Solo, Badrus Salam bahwa pemerintah Saudi Arabia mulai menerapkan sanksi atau denda bagi jamaah yang membawa rokok melebihi jumlah yang ditentukan yaitu maksimal 200 batang. Tidak tanggung-tanggung, jamaah haji yang melanggar ketentuan tersebut dapat didenda sebesar 10 ribu real atau setara dengan Rp 35 juta.
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah (Kasi PHU) juga memperkuat argumentasi bahwa rokok tidaklah dilarang, tapi hanya dibatasi. Ketika menanggapi barang bawaan rokok CJH embarkasi Surabaya, dia bisa memahami psikologis para Calon Jemaah Haji (CJH) yang ditanganinya. Maklum, rokok bagi CJH Embarkasi Surabaya seperti makanan pokok. “Sesuai ketentuan, rokok yang boleh dibawa sebanyak 200 batang. Atau maksimal hanya boleh membawa dua slop rokok,” ungkapnya.
Maka teguran larangan rokok pemerintah Arab Saudi kepada pemerintah Indonesia itu sebenarnya siapa yang mengatakan, jika itu adalah ungkapan ibu Menkes maka lebay rasanya jika harus dibumbui dengan pemerintah Indonesia “dimarahi” pemerintah Arab Saudi terkait rokok jamaah hajinya. Selain lebay, hal tersebut juga berbahaya, sebab seolah-olah ada opini yang muncul bahwa rokok dilarang untuk dibawa dan aktivitas merokok dilarang ketika pergi ke tanah suci.
Nah jika memang teguran tersebut datang dari pemerintah Arab Saudi rasanya tidak demikian bunyinya. Sebab pemerintah Arab Saudi hanya mengatur soal pembatasan rokok yang dibawa, itupun karena ada kekhawatiran penjualan ilegal dapat meningkat. Jadi catat baik-baik ya, hanya dibatasi bukan dilarang. Paling-paling jika ditegur bunyinya seperti ini “kok jamaah haji ente masih ada yang bawa rokok lebih dari 200 batang sih?”. Kalau ini terjadi, tentu saja yang harus ditunjuk hidungnya adalah panitia haji Indonesia yang entah telat atau lupa untuk mensosialisasikan peraturan tersebut kepada CJH atau bisa jadi petugas Bea Cukai kita yang kurang jeli dalam mengawasinya.
Terakhir, kasak-kusuk persoalan rokok bagi para jamaah haji Indonesia, yang sebenarnya hubungannya kepada persoalan ketentuan barang bawaan, bukan kepada stigma negatif kampanye pengendalian tembakau, ibu Menkes lebih baik berfokus kepada penyediaan pelayanan kesehatan jamaah haji Indonesia di tanah suci. Ngomong-ngomong jadi nggak bu tenaga pelayanan kesehatan ditambah? Nah JawaPos.com harusnya menanyakan itu setelah membuat berita rokok jamaah haji Indonesia.
- Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan - 13 November 2017
- Merokok Adalah Aktivitas Legal, Ini Landasan Dasarnya - 6 November 2017
- Cacat Logika Pemerintah Dalam Menaikkan Tarif Cukai Rokok - 23 October 2017