Press ESC to close

Benarkah Diversifikasi Dapat Menghidupi Petani Tembakau?

Dalam sengkarut perkara kenaikan cukai, terselip sebuah kabar kalau pemerintah mengharap petani tak lagi tanam tembakau. Mereka perlu melakukan diversifikasi, agar nasib dan hidup mereka tetap terjamin. Karena menanam tembakau itu penuh risiko, dan yang terpenting adalah tembakau itu tanaman pembunuh.

Sekilas, bagi orang-orang yang tak pernah datang ke Temanggung, menanam tanaman selain tembakau adalah hal yang mudah. Menurut mereka ada banyak tanaman lain yang lebih layak ditanam, meski mereka tak tahu apakah tanaman itu mampu hidup di kawasan Sumbing dan Sindoro. Apalagi jika musim telah masuk kemarau, entah tanaman macam apa yang sanggup bertahan di sana.

Kebetulan, beberapa bulan lalu saya sempat datang ke Temanggung dan melihat langsung keadaan di kawasan tersebut. Sekira 10 hari di sana, perjumpaan dengan petani tembakau dan mengikuti aktivitas mereka di ladang membuat saya sadar: cuma tembakau lah tanaman yang sanggup mereka tanam di kala kemarau.

Keadaan lahan di lereng Sumbing terbilang begitu tandus. Tanahnya keras, berbatu. Sumber air tidak seberapa banyak untuk luasan lahan yang ditanam. Jika mau iseng tanam cabai, bawang, atau jagung, tentulah tanaman itu tak bakal bertahan di keringnya musim kemarau.

Baca Juga:  Cerita Sebatang Cerutu

Tembakau menjadi pilihan para petani di sana karena kemampuannya bertahan kala kemarau tiba. Ia adalah jenis tanaman yang tak banyak meminta air. Tidak perlu setiap minggu Tanaman ini disirami, yang kalau dilakukan tentu memakan biaya dan tenaga banyak. Dalam kondisi terik, tembakau justru dapat menghasilkan panen yang bagus buat petani.

Memang selain tembakau, ada tanaman lain yang mampu bertahan. Misal kopi. Sayangnya, tanaman ini tidak masuk golongan tanaman musiman. Mereka adalah tanaman keras yang kurang lebih menghasilkan panen sekali setahun. Jadi perputaran uangnya tidak seberapa baik.

Tembakau, memang hanya panen sekali setahun. Tapi Ia adalah tanaman musiman, yang ketika penghujan tiba dapat terganti oleh tanaman lain. Di musim seperti itulah bawang atau cabai jadi andalan para petani. Dan secara ekonomi, tentu saja harga tembakau tiada berbanding dengan bawang.

Karenanya, diversifikasi tanaman yang kerap diwacanakan ini adalah upaya bohong belaka. Pemerintah, dalam konteks negara, mungkin memang malas memikirkan nasib rakyatnya. Dalam hal ini petani tembakau. Karena tembakau ini kerap diserang dan rentan terhadap kebijakan terkait rokok, petani diminta beralih tanpa mendapat kepastian kalau itu dapat menjamin hidup mereka.

Baca Juga:  Sudah Tepatkah Penggunaan Dana Cukai dan Pembetukan Tim Monev DBHCHT di Kabupaten Sumenep?

Dalam sekali panen, petani tembakau bisa mendapatkan uang mencapai 150 juta rupiah. Uang itu tentu tidak sebanding dengan tawaran pemerintah agar mereka menanam tanaman lain yang, kurang lebih, nilai ekonominya tidak sebanding dengan tembakau. Jadi, jangan salahkan petani tak beralih dari tembakau.

Apabila memang pemerintah benar-benar mau memperhatikan nasib dan hidup petani tembakau, cobalah bijak dalam membuat regulasi. Jangan melulu dorongan kelompok antitembakau menjadi acuan. Perhatikan juga nasib petani dan stakeholder kretek lainnya. Jangan karena malas mencari solusi, lalu pemerintah lepas tangan begitu saja. Enak saja.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit