Press ESC to close

Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau untuk Konsumen

Regulasi soal rokok sejak dulu tidak pernah berpihak pada konsumen. Menaikkan cukai setinggi-tingginya, mengadakan aturan kawasan tanpa rokok di banyak tempat, juga membuat aturan mengada-ada soal kriminalisasi perokok. Semua dibuat tanpa ada pertimbangan tentang hak konsumen.

Pun dalam perkara cukai. Kebijakan dibuat hanya dengan tujuan mendapatkan dana segar untuk menjalankan negara. Memang ada dana bagi hasil cukai hasil tembakau untuk daerah penghasil cukai. Sudah diatur pula bagaimana cara mengalokasikan DBHCHT tersebut. Tapi pelaksanaannya di daerah tidak berjalan dengan baik.

Dalam peraturan soal cukai, disebutkan kalau 50% alokasi DBHCHT minimal diberikan untuk 5 program, yakni; peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi kebijakan cukai, dan pemberantasan rokok ilegal. Namun kenyataannya, penganggaran tidak banyak menyasar program untuk stakeholder tembakau.

Para petani tidak banyak merasakan apa yang disebut sebagai program peningkatan kualitas bahan baku, industri kecil tak dapat pembinaan, dan anggaran lebih banyak dipakai untuk sosialisasi kawasan tanpa rokok juga kampenye antirokok. Sebuah hal yang miris mengingat uang yang dipakai itu berasal dari keberadaan industri rokok.

Dan lebih sialnya lagi, pihak konsumen yang duitnya dikeruk untuk pemasukan cukai tidak mendapatkan apa-apa dari DBHCHT. Ya meski petani dan industri juga tidak banyak mendapat apa-apa dari sana, tapi setidaknya kepentingan mereka tersebut dalam aturan soal alokasi. Sementara konsumen, jangankan disebut, keberadaannya memang hanya dianggap sebagai sapi perah saja.

Baca Juga:  Bijak Dalam Menaikkan Cukai Rokok

Untuk itulah, sudah saatnya keberadaan para perokok mulai diperhatikan oleh regulasi. Kalaupun cukai perlu dinaikkan, negara harus menghitung di angka berapa konsumen sanggup menebusnya. Kalau terlalu tinggi, ya siap-siap saja kalau kami para konsumen ini beralih mengonsumsi rokok ilegal atau tingwe.

Dan yang lebih penting lagi, sudah saatnya konsumen rokok mendapatkan haknya dari dana cukai. Jika selama ini pemerintah gagal menyelenggarakan hak perokok dengan menyediakan ruang merokok yang layak, pemerintah bisa memasukkannya ke dalam aturan soal alokasi DBHCHT. Ya, sudah saatnya konsumen merasakan apa yang mereka berikan pada negara.

Konsumen kretek tidak perlu sosialisasi soal “bahaya” merokok, atau sosialisasi soal rokok ilegal. Yang mereka butuhkan adalah terjaminnya hak mereka untuk mengonsumsi barang legal ini. Bahwa alasan sosialisai “bahaya” merokok oleh dinas kesehatan dilakukan dengan dalih melindungi hak orang yang tak merokok, maka penyediaan ruang merokok bakal lebih efektif menjamin hak mereka.

Dengan tersedianya ruang merokok di tempat-tempat umum bakal meminimalisir terganggunya orang yang tidak merokok. Keberadaan ruang merokok pun bakal menjamin hak konsumen yang harusnya sejak dulu disediakan. Dan dengan dimasukkannya poin ini pada alokasi DBHCHT, negara dan pemerintah daerah tidak lagi boleh beralasan mereka tak memiliki uang.

Baca Juga:  Perlindungan Hukum Dalam Budaya Tembakau dan Kretek

Ini agak lucu, sebenarnya. Pemerintahan kita kerap membuat regulasi meski mereka secara sadar tidak mampu untuk menjalankannya. Mereka membuat banyak aturan tentang KTR, meski tahu bakal gagal mewujudkan ruang merokok yang tercantum dalam aturan tesebut. Karenanya, mendorong alokasi DBHCHT untuk hak konsumen adalah hal yang penting diperjuangkan negara.

Jika negara memang berniat mewujudkan terjaminnya hak semua warga, maka menyediakan ruang merokok di tempat-tempat umum adalah hal yang perlu dilakukan. Dan kalau negara memang memang tak punya dana untuk itu, maka mengalokasikan DBHCHT untuk konsumen rokok adalah solusi bagi mereka. Itu pun kalau mereka memang menghendaki solusi untuk persoalan ini.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit