Tak terlalu mengagetkan memang ketika kenaikan cukai rokok untuk tahun 2018 mencapai angka 10,04%. Dengan target besar menguasai pasar nikotin di Indonesia, harga rokok harus dinaikan setinggi-tingginya. Tentu agar harga rokok berada di posisi yang sama dengan produk nikotin keluaran industri farmasi.
Untuk merebut pasar Indonesia yang konsumen rokoknya puluhan juta orang itu, memang diperlukan satu siasat pengendalian. Agar konsumsi rokok mampu dikendalikan, dan agar selera konsumen mampu diarahkan kepada produk pengganti rokok yang diistilahkan nicotine replacement therapy. Supaya hal itu dapat terwujud, dilakukanlah sebuah upaya guna stigma negatif terhadap perokok sebagai pesakitan, yang kemudian berlanjut pada dampak paparan asapnya bagi orang lain. Dari sinilah pintu masuk bisnis produk pengganti rokok mendapatkan legitimasinya.
Berdasar referensi penelitian yang saya pelajari, di balik agenda kampanye kesehatan ini ternyata ada kepentingan politik dagang industri farmasi yang menyasar hak paten atas nikotin. Sejak masuk ke Indonesia pada tahun 2000, ketika itu memunculkan satu wacana standarisasi tar dan nikotin, kita dapat tengarai apa sebetulnya yang tengah dimainkan. Setelahnya, didorong pula penerapan klausul-klausul FCTC di berbagai negara penghasil tembakau.
Salah satu klausul yang saya soroti di sini adalah penerapan kenaikan cukai tiap tahun, dengan target untuk mengurangi angka perokok. Namun upaya itu tak berarti berhasil sepenuhnya di Indonesia. Selain karena modal sosial dan budaya kita yang masih terpelihara baik, penyakit kekinian malah kerap menyerang orang-orang yang justru tidak merokok.
Kembali ke poin perebutan pasar nikotin. Perlu diingat baik-baik, bahwa nikotin pada tembakau telah sejak jauh hari dibutuhkan untuk keperluan medis. Itu makanya kenapa industri farmasi juga menyasar nikotin pada tembakau. Yang kemudian memproduksi dan memasarkan berbagai produk pengentas kecanduan nikotin.
Semua produk terapi pencegahan kecanduan merokok itu berbasis nikotin. Karena Nikotin memang diakui sebagai “obat ajaib dan zat kimiawi yang mencengangkan”oleh para ilmuwan. Para ahli farmakologi telah meneliti efek fisiologis nikotin, dan menemukan bahwa nikotin punya kemungkinan bermanfaat untuk terapi yang signifikan. Baik sebagai sarana bantu berhenti merokok maupun sebagai obat untuk menangani aneka penyakit. Seperti meringankan nyeri, gelisah dan depresi, meningkatkan konsentrasi dan kinerja pada mereka yang menyandang kelainan hiperaktifitas dan lemah dalam pemusatan perhatian, meringankan beberapa gejala pada skizofrenia akut, sindroma tourette, Parkinson dan alzeheimer.
Pada tahun 1988, berdasar laporan Surgeon General AS, untuk pertama kalinya dinyatakan bahwa nikotin adalah zat yang menyebabkan kecanduan, mendorong kebiasaan dan ketagihan yang membuat para perokok terikat pada rokok. Dengan demikian, perokok perlu ditangani oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok. Laporan Surgeon General, yang disusun Centers for Disease Control (CDC), secara sengaja atau tidak telah menciptakan efek promosi penjualan produk-produk farmasi, dan di sisi lain, mencap buruk produk-produk nikotin industri tembakau atau rokok.
Produk-produk yang dipasarkan industri farmasi untuk ini adalah koyok nikotin, obat hirup nikotin (inhaler), permen karet nikotin, dan sebagainya. Tak mengherankan dalam melancarkan misi dagang itu berbagai kampanye tentang bahaya-bahaya tembakau gencar dilakukan dan melibatkan berbagai pihak, misalnya para ahli farmasi, para dokter, para politisi, para penggiat anti tembakau, bahkan badan-badan nasional dan internasional. Berbagai upaya pun dilakukan dan dimasifkan.
Perlu diketahui juga, pada akhir tahun 2000, penjualan obat “berhenti merokok” berbasis nikotin di Amerika mencapai US$ 700 juta, belum termasuk penjualan Zyban obat berhenti merokok non nikotin. Angka ini tidak termasuk penjualan global di luar Amerika yang terus meningkat, sehingga dapat disimpulkan, bahwa obat berhenti merokok adalah bisnis miliaran dolar. Bahkan masih memiliki potensi laba lebih besar lagi di masa mendatang karena WHO juga telah mendorong program berhenti merokok secara global.
Di Indonesia sendiri penetrasi pemasaran produk pengentas itu dikenal dengan istilah Terapi Pengganti Rokok. Beberapa waktu lalu, pasca diumumkannya besaran angka kenaikan cukai rokok, di media sosial salah seorang agen bisnis menjalankan aksinya untuk memasarkan usahanya. Ketika harga rokok semakin mahal, kemudian ada usaha penetrasi untuk melariskan produk tersebut. Selain itu mereka juga mendorong agar pemerintah lebih promotif pada produk ini serta memastikan jarak harga produk ini dan rokok tidak terlampau jauh.
Jadi, semua kondisi karena kenaikan cukai rokok dan kampanye kesehatan selama ini sebetulnya hanya kerja simulakra pasar yang bermuara pada penghapusan sektor strategis yang dimiliki Indonesia, yaitu industri kretek. Yang perlu diingat tentu saja, puluhan juta orang hidup dari industri ini. Dan jika industri ini mati, habislah harapan hidup mereka. Setelah semua kredo tentang kesehatan pada akhirnya membunuh sumber ekonomi rakyat, seperti yang pernah terjadi pada sektor kopra dan garam, apa kelak pemerintah cuma bisa menyesali? Halah, klise.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024