Seringkali orang-orang kesehatan memberi stigma jika perokok adalah golongan kaum yang pesakitan. Bahwa perokok rentan terkena kanker, yang membuat BPJS harus keluar duit banyak buat mengobati penyakit ini. Karena itu, dimunculkan wacana agar nasib sakit perokok tak ditanggung oleh BPJS. Meskipun kita sama-sama tahu, jika hal semacam itu adalah bentuk diskriminasi yang sangat bertentangan dengan sila kelima.
Pihak BPJS sendiri, dengan dalih andalannya melalui Pasal 25 Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013, menyebut jika hal-hal yang tidak dijamin dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan. Brengseknya, pihak kesehatan melulu melihat sesuatu yang menyakiti diri itu hanya dilakukan oleh perokok.
Lewat berbagai muslihat kampanye kesehatan yang begitu gencar dilakukan, mereka menyebarkan kebencian pada perokok. Padahal ya bukan rahasia lagi kalau itu dibiayai salah satunya dengan memanfaatkan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau. Mau memerangi perokok, tapi dana perangnya diambil dari perokok. Inilah salah satu watak ngaco dari kelompok pembela kesehatan.
Hal yang kira-kira sama juga terjadi tatkala BPJS mengalami defisit hingga Rp 10 triliun. Sebuah persoalan dari dunia kesehatan yang hampir tak pernah mau diurus, tapi menjadi heboh karena berkaitan dengan uang yang tidak sedikit. Lantas apa langkah yang diambil sebagai solusi masalah ini? Tepat, menggunakan dana cukai rokok untuk menambal defisitnya. Sebuah antiklimaks perjuangan BPJS membebaskan diri dari perokok.
Melihat persoalan BPJS tadi, ternyata membuat kita sadar kalau ada masalah-masalah yang tidak sedikit dalam dunia kesehatan. Ada banyak masalah, tapi yang melulu diurus hanya perkara rokok. Hampir tak ada gerakan untuk mengatasi yang lain. Terutama terkait penyakit menular yang masuk ke dalam kategori penyakit tropis (Neglected Tropical Diseases atau NTD) dan menjadi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
NTD memang jarang menimbulkan kematian. Namun, penyakit ini berpotensi menyebabkan kondisi hidup yang tinggi kerentanannya. Bagi penderitanya, NTD tidak hanya menghambat produktivitas, tetapi juga mengakhiri kehidupan mereka sebagai manusia normal. Stigma sosial menyebabkan penyakit ini ditakuti. Ditambah dengan kondisi sanitasi lingkungan dan laku hidup yang tidak seimbang, NTD semakin sulit dimusnahkan. Namun masalah-masalah yang menyebabkan ketersebaran penyakit itu, macam sanitasi yang baik, tidak begitu menjadi sorotan utama. Karena memang cuma rokok lah yang dianggap berbahaya karena dicap mengakibatkan kanker dan penyakit kompleks lainnya.
Sementara berdasar prevalensinya, Indonesia merupakan negara kedua di dunia dengan tingkat infeksi cacingan melalui tanah (soil-transmitted helminthiasis atau STH) tertinggi setelah India. Bahkan, 31 dari 33 provinsi termasuk area yang endemik STH. Pada anak, STH dapat mengganggu proses tumbuh kembang dan berhubungan erat dengan minimnya prestasi di sekolah. Selain STH, NTD lain yang masih endemis adalah skistosomiasis. Penyakit ini masih dapat ditemukan di tiga daerah, yaitu Lembah Lindu, Napu, dan Bada di Sulawesi Tengah.
Sebanyak 125 juta penduduk Indonesia juga berisiko terinfeksi filariasis limfatik. Prevalensi tertinggi terdapat di Papua, NTT, dan Maluku. Indonesia juga merupakan satu-satunya negara yang endemik terhadap seluruh spesies cacing penyebab filariasis, yaitu W. Bancrofti, B. Malayi, dan B. Timori. Ketiga cacing ini dapat ditransmisikan oleh 23 jenis vektor nyamuk di Indonesia. Parasit ini dapat menyumbat aliran limfe (berhubungan erat dengan sistem sirkulasi darah), yang kemudian menyebabkan pembesaran kaki sehingga menyerupai kaki gajah. Deformitas inilah yang menyebabkan morbiditas, penurunan produktivitas, serta stigma sosial.
Belum lagi persoalan Frambusia yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi T. Pertenue. Jika tidak diobati, akan muncul lesi pada kulit di seluruh tubuh. Di Indonesia, penyakit kronis ini dapat ditemukan pada 18 provinsi dan sering menyerang anak di bawah 15 tahun. Infeksi bakteri lainnya yang tergolong NTD adalah lepra. Meskipun lepra sudah tereliminasi dalam skala nasional, penyakit ini masih dijumpai pada beberapa provinsi di Pulau Jawa. Sebagai tambahan, 70% insiden kasus lepra di Indonesia merupakan tipe multibasiler yang diasosiasikan dengan disabilitas dan transmisi yang lebih tinggi.
Masalah-masalah penyakit tropis seperti ini malah luput dari fokus kampanye pihak kesehatan. Itu belum ditambah masalah-masalah yang biasa dialami masyarakat tatkala harus berobat, entah di klinik atau rumah sakit. Masih terdengar satu-dua kejadian bayi tak boleh dibawa pulang karena orangtuanya tak mampu bayar biaya persalinan. Atau orang yang masuk rumah sakit tak langsung mendapat perawatan, yang tentu saja membuatnya berisiko kehilangan nyawa. Masih ada masalah-masalah seperti ini.
Ke depannya, lebih baik kelompok yang mengaku membela kesehatan masyarakat ini belajar adil sejak dalam pikiran. Kalau memang mau benar-benar membela kesehatan masyarakat, itu masalah-masalah tadi juga harusnya ikut diadvokasi. Dikampanyekan agar publik dan negara tahu bahwa masalah ini harus segera diselesaikan. Jangan cuma bahas rokok saja kerjanya. Memangnya, tujuan kalian ini mau mematikan rokok atau membela kesehatan masyarakat sih?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024