Search

Perempuan Perokok dan Standar Ganda Moralitas

Entah sejak kapan, aktivitas merokok selalu diidentikkan dengan laki-laki. Stigma bahwa rokok dibuat hanya untuk laki-laki nampaknya sudah sangat mengakar dalam pemahaman masyarakat luas. Stigma tersebut terus berkembang dan melahirkan pandangan-pandangan baru hingga masyarakat menganggap bahwa perempuan yang merokok adalah perempuan yang tidak bermoral, nakal, labil, menyimpang, dan segudang stigma negatif lainnya.

Boleh jadi perokok perempuan kini merasa terdiskriminasi dengan adanya pandangan demikian. Maka saya tidak heran melihat teman perempuan saya yang merupakan seorang perokok, memilih bersembunyi atau mencari tempat yang tak terlihat umum ketika hendak menghisap rokoknya. Bahkan, karena merasa khawatir aktivitas merokoknya terlihat orang, mereka harus siap siaga untuk mematikan rokoknya saat ada orang yang mendekati mereka. Tak jarang juga rokok yang masih menyala pun rela mereka buang meski baru satu atau dua hisapan yang mereka nikmati.

Tidak sedikit pihak yang beranggapan bahwa sebenarnya perempuan boleh berurusan dengan rokok kecuali menghisapnya. Banyak orang, terutama perokok laki-laki tentu tahu betul bahwa bahwa banyak perempuan yang bekerja sebagai seorang Sales Promotion Girl (SPG) rokok atau penjaja rokok. Saya bahkan hampir tidak pernah menemukan seorang laki-laki yang berkeliling menawarkan bungkusan rokok pada tamu di kedai-kedai kopi atau orang-orang di jalan raya. Publik kini menempatkan perempuan seolah-olah hanya layak sebagai seorang SPG namun tak pantas menjadi pengguna rokok. Mereka seolah mewajarkan kondisi tersebut. Orang-orang dengan cara pandang seperti ini sudah gagal berbuat adil, bahkan sejak dalam pikirannya.

Baca Juga:  Kenapa Sebaiknya Kita Tidak Merokok Saat Berkendara?

Cara pandang diskriminatif tersebut berdiri di atas standar ganda moralitas yang jelas-jelas mengandung banyak unsur kecacatan berpikir. Dan kecacatan tersebut cepat atau lambat akan menemukan wujud sempurnanya, dimana stigma negatif terhadap perempuan perokok telah termanifestasi nyata dalam bentuk cacian dan hinaan. Miris!

Tak hanya perkara moral, label buruk bagi perempuan yang merokok juga terkesan sangat sexist karena menilai kepantasan seseorang melakukan aktivitas tertentu hanya berdasarkan pada jenis kelamin semata. Selain itu, masalah kesehatan juga sering digunakan sebagai alasan untuk melarang perempuan merokok. Untuk mendukung alasan yang terakhir, rasanya kita perlu sebuah riset mendalam yang menyatakan kalau paru-paru laki-laki lebih kuat menetralisir nikotin dibanding paru-paru perempuan. Adakah?

Menghisap rokok, bagi saya bukan hanya perkara membunuh rasa asam di mulut setelah makan, tapi juga sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian bagi para petani dan buruh tembakau. Tembakau rokok telah menjadi sumber kehidupan banyak rakyat kecil termasuk perempuan. Dari menjual hasil panen tembakau tersebut, mereka bisa menghidupi anak-anak mereka dengan layak. Mencukupi gizi mereka dengan susu yang dibeli dengan uang hasil penjualan tembakau.

Baca Juga:  Harga Cengkeh Jatuh Akibat Kebijakan yang Tak Berpihak

Menunjukan apresiasi dan kepedulian pada petani dan buruh tembakau dengan mengkonsumsi rokok sangat boleh dilakukan oleh siapapun termasuk perempuan. Melarang seorang perempuan untuk merokok, bagi saya, sama halnya dengan melarang perempuan untuk bersikap peduli pada rakyat kecil–produsen rokok. Jika sudah demikian, siapa yang tidak bermoral?

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)