Press ESC to close

Kesantunan Sosial Perokok

Perokok di Indonesia adalah konsumen yang memiliki latar kesantunan luar biasa dan beragam. Saya sebut luar biasa karena dari sebatang rokok saja dari pergaulan orang muda muncul istilah patungan (beli) rokok, sampai istilah “joinan” pun sudah tak asing lagi. Meskipun rokok oleh media dibingkai buruk, bahkan konsumennya dituduh perusak kesehatan, lebih ekstrim lagi dicap perusak masadepan lingkungannya. Namun hal itu tidak mengurangi kesantunan sosial perokok. Apa itu kesantunan sosial?

Kesantunan berasal dari kata santun, merujuk pada KBBI, santun yang artinya: 1. halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; 2. penuh rasa belas kasihan; suka menolong. Ciri kesantunan itu bisa ditilik dari beragam bahasa yang tumbuh dan berlaku di kalangan perokok. Bahasa adalah cermin kekayaan budaya, juga kepribadian suatu masyarakat. Anda pun mungkin sudah tak heran lagi dengan istilah “uang rokok”, yang juga dikenal dengan bahasa lain sebagai uang tips atau bonus.  Istilah itu tumbuh dan membudaya dari keluhuran sosial orang Indonesia.

Tiada maksud mencubit para pelaku usaha tertentu, bahwa di masyarakat kita yang suka kagetan juga dikenal istilah “uang kaget”. Sampai-sampai menjadi nama satu mata acara di salah satu stasiun televisi swasta—yang kalau dilihat dari kacamata kesantunan, acara itu sungguh kontra produktif sekali. Semacam cara mengejek kemiskinan masyarakat pra sejahtera.

Baca Juga:  Mitos atau Fakta Soal Kretek

Sebagai perokok pernahkah kita menanyakan uang receh dari kembalian belanja rokok di toko waralaba, yang konon akan disumbangkan untuk yayasan tertentu. Paling tidak dikabarkan hasilnya jadi apa saja setelah disumbangkan. Atas dasar kesantunan sosial kita tak pernah mau ambil pusing perkara itu.

Haiya, hal mendasar yang perlu diingat lagi dari rokok sebagai barang legal, produk rokok dikenakan 3 jenis pajak (Cukai, PPN, PDRD) yang kesemuanya dimanfaatkan untuk melumasi kerja pembangunan, dan (insya Allah) bermaslahat bagi banyak orang. Ketiga jenis pajak itu jelas didapat dari pasar perokok. Pasar yang ingin dialihkan perilaku konsumsinya oleh kelompok antirokok. Dialihkan untuk mengonsumsi nikotin melalui produk NRT (Nicotie Replacement Therapy).

Aspek kesantunan perokok ini telah menjadi satu semangat kolektif, menumbuhkan nilai-nilai sosial tersendiri di masyarakat. Para perokok tidak terlalu rewel atau memperkarakan jadi apa saja pajak dosa (cukai rokok) yang dikelola oleh para pihak yang punya otoritas di wilayah tersebut. Iya paling-paling memang, termasuk saya, mengkritisinya dari sisi positifnya, kenapa tidak dikembalikan ke konsumen dalam bentuk TKM (Tempat Khusus Merokok), itu kan lebih konkrit dan fair.

Baca Juga:  Pamor Zippo dan Tuntutan di Medan Perang

Pada kegiatan kerja bakti membersihkan selokan warga di lingkungan saya pun, adakalanya warga yang sedang tidak berkenan hadir, tak jarang yang menyumbang beberapa bungkus rokok sebagai alat ganti ketidak-hadirannya. Ada nilai kesantunan yang diwakili melalui rokok tersebut. Meski bentuknya tak melulu berupa rokok. Setiap orang punya latar kesantunan yang berbeda-beda, tergantung ia dibentuk oleh cara pandangnya terhadap kehidupan sosial. Saya mencemaskan ketika rokok tergantikan dengan produk NRT, semisal koyo nikotin, ataupula nikocite spray, janggal sekali jika ada orang menyumbangkan itu pada kegiatan gotong royong warga. Artinya ketika satu produk budaya hilang dari masyarakat, maka bahasa yang melingkupinya pun akan punah dari keseharian kita. Makna kesantunan sosial pun akan turut berubah.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah