Press ESC to close

Kota Layak Anak Mestinya Tidak Mendiskriminasi Perokok

Program Kota Layak Anak (KLA) memang sudah digelorakan pemerintah sejak tahun 2006 silam. Sebuah program yang memberi kabar gembira bagi banyak orang tua di Indonesia. Terutama dalam menyikapi problem anak-anak di perkotaan. Ada sekira 167 kabupaten/kota yang tengah didorong menginisiasi percepatan program tersebut. Dengan target demi terciptanya Indonesia Layak Anak tahun 2030.

Celakanya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada waktu lalu mensyaratkan kepada kabupaten/kota yang menginisiasi KLA harus bebas asap rokok serta tidak ada lagi iklan rokok yang terpampang di ruang publik. Yang artinya program ini secara langsung mendiskriminasi perokok, lain itu pula tidak menjadikan pengadaan ruang merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai satu solusi. Dan lagi-lagi dalih kesehatan menjadi pembenarannya, diperkuat pula menyangkut isu anak yang menjadi titik tekannya.

Dalam mengembangkan KLA itu terdapat 24 indikator pemenuhan hak dan perlindungan anak di setiap kabupaten/kota. Di Jakarta sendiri sudah berlangsung sejak era gubernur Basuki Tjahaja Purnama, yakni suatu konsep yang disebut Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Sebanyak 300 RPTRA terbangun sudah di seluruh Jakarta.

Mengapa syarat untuk kabupaten/kota harus bebas asap rokok dan tidak ada lagi iklan rokok merupakan klausul yang diskriminatif. Betapa tidak, indikator “layak” itu sendiri masih di tataran konseptual, tidak pula menyasar pada persoalan polusi yang ditimbulkan dari fenomena perkotaan—yang kerap dikalahkan oleh kepentingan politik elit dan para kolaboratornya—terkait polusi kendaraan bermotor, polusi pabrik, maraknya baliho iklan yang menjanjikan produk kemewahan, polusi suara, dan tumpang tindihnya pemaknaan ruang. Itulah persoalan yang lebih krusial dan masih menjadi PR pemerintah kota di banyak tempat. Terutama kota besar seperti Jakarta.

Baca Juga:  Dilarang Merokok Di Kota Layak Anak

Klausul bebas asap rokok ini seakan-akan menempatkan persoalan perkotaan yang lebih krusial itu menjadi tidak lagi penting. Padahal klausul itu sendiri tidak menjamin sepenuhnya menjadikan kota terbebas dari pencemaran lainnya yang mengancam tumbuh kembang anak.

Justru ditengarai dengan tiadanya perhatian terhadap pengadaan ruang merokok. Bahkan lebih ekstrimnya dengan meniadakan hak perokok. Akan memicu sikap yang bertentangan dengan harapan banyak pihak. Karena klausul bebas asap rokok itu sendiri jelas-jelas mencederai rasa keadilan bagi perokok.

Tidaklah keliru memang jika persoalan kepengasuhan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak menjadi perhatian pemerintah. Namun yang menjadi rancu ketika pemerintah, yang dalam hal ini Kementrian PPPA secara terbuka mengabaikan asas yang ditetapkan Undang-undang, dan itu jelas berpotensi menimbulkan preseden buruk.  Satu bentuk keserampangan yang tidak memberi teladan yang baik bagi penalaran publik.

Sangat disesalkan sekali tentunya, jika masih ada orang tua yang merokok di dekat anak, bahkan misalnya malah mencontohi secara sengaja. Yang sesungguhnya hal itu bisa dieliminir melalui edukasi yang persuasif, di antaranya adalah dengan pengadaan ruang merokok. Bukan dengan menihilkan hak konsumen produk legal tersebut.

Baca Juga:  Ketika Pabrik Kretek Bertumbangan

Jika anak punya kehidupan yang perlu difasilitasi, kenapa harus jadi mengorbankan rasa keadilan bagi yang lain. Dalam konteks ini bukan hanya rasa keadilan bagi perokok. Lain itu pula kita perlu menghargai hak para orangtua yang bukan perokok. Karena potensi pembangkangan dari orangtua yang merokok di KTR juga akan menjadi satu perkara yang kita sesalkan, lantaran tiadanya upaya taat asas tersebut dari pemerintah. Maka semestinya dahulukan dulu sikap taat asas dari pemerintah, seperti yang dihadirkan di Jepang misalnya. Taman publik sekalipun disediakan fasilitas khusus untuk perokok.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta