Tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan rokok elektrik (vapor) di Indonesia sekarang ini sudah semakin berkembang dengan sangat pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah pengguna vapor (vapers) di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apsari Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, kesadaran masyarakat akan vapor telah mencapai 10,9% pada 2010. Lalu pada tahun 2014, jumlah penggunanya telah mencapai 0,5% dari total sekitar 200 juta lebih penduduk di Indonesia. Itu berarti ada sekitar 1,2 juta vapers di nusantara.
Banyak pihak yang meyakini bahwa perkembangan vapor hanyalah sekadar tren gaya hidup, sedangkan rokok konvensional berbahan dasar tembakau lebih memiliki kecenderungan sebagai warisan budaya dalam masyarakat. Perbedaan antara vapor dan rokok kini melahirkan beragam polemik. Ada pula yang menilai bahwa mengkonsumsi vapor adalah solusi untuk menghindari resiko yang ditimbulkan oleh rokok batangan. Entah siapa yang berkepentingan, rokok dan vapor dibuat seolah berkontradiksi secara antagonis; industri rokok harus mematikan industri vapor, begitu sebaliknya.
Perbedaan rokok konvensional dengan vapor merupakan salah satu topik yang cukup diminati oleh para perokok dan para vapers. Sudah banyak diskursus yang dihelat dalam rangka mengkampanyekan sisi positif dari masing-masing komoditas. Banyak poin yang diulas dalm setiap diskursus, kebanyakan adalah poin-poin yang menjabarkan efek buruk satu sama lain sebagai wujud kontradiksi yang antagonis.
Di berbagai kesempatan, perokok kerap menyebut bahwa efek pembakaran liquid pada vapor lebih berbahaya ketimbang rokok. Begitupun sebaliknya, para vapers kerap menyebarkan propaganda bahwa mengonsumsi tembakau dengan dibakar api adalah tindak ‘bunuh diri’. Tuduhan yang terakhir bagi saya agak berlebihan mengingat kakek saya adalah perokok yang tetap bugar hingga usia 80 tahun.
Tapi, tulisan ini tidak akan fokus membahas perdebatan manfaat atau bahaya dari kedua jenis produk yang mengandung nikotin tersebut. Siapa bilang stigma negatif dari masyarakat hanya melekat pada rokok, orangtua saya saja konsisten menilai buruk vapor. Rokok dan vapor sama-sama terkurung dalam penjara sosial bernama diskriminasi.
Yang terpenting di atas perdebatan rokok versus vapor adalah kampanye untuk menjadi konsumen yang punya etiket santun. Mau asap ataupun uap, yang pasti kedua produk tersebut sama-sama akan ngebul kalau dihisap. Saya sih gak sepakat kalau Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dianggap hanya melarang perokok konvensional. Para vapers juga tidak bisa dibenarkan jika kedapatan ngudud di area yang masuk kategori KTR. Tidak sedikit juga orang yang risih dan terganggu oleh kebulan uap vapor. Maka, sebagai konsumen yang baik, perokok dan vapers harus selalu menghargai mereka yang memilih untuk tidak mengonsumsi keduanya.
Selain itu, anak-anak kecil dan ibu hamil adalah contoh masyarakat yang tidak selaiknya terpapar kebulan rokok dan vapor. Mereka memiliki tingkat kerentanan tersendiri akan resiko dari nikotin. Merokok atau vaping disekitar mereka adalah tindakan yang menciderai esensi dari kesetaraan hak.
Hal lain yang perlu dikedepankan adalah fakta bahwa rokok konvensional dan vapor sama-sama melalui proses pemungutan cukai oleh negara sebelum beredar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, para konsumen produk olahan tembakau seperti saya harus diberikan jaminan hak dalam bentuk ketersediaan ruang untuk dapat menikmati pilihan saya dengan nyaman. Kenapa harus? Ya, memang konstitusi mengamanatkan itu.
Peredaran rokok dan vapor di tengah masyarakat juga terikat oleh regulasi yang ada. Dengan regulasi-regulasi yang ada, ditambah pola pikir diskriminatif beberapa pihak, sudah seharusnya para perokok dan vapers saling dukung dalam mendobrak stigma negatif yang tertanam di masyarakat. Jika sudah saling dukung, niscaya kita tidak akan temukan lagi perdebatan rokok versus vapor, atau bahkan diskursus asap versus uap. Boleh jadi yang bisa kita lihat adalah diskusi para perokok dan vapers yang menolak takluk pada diskriminasi massal.
Saya seorang perokok konvensional, bahkan terkadang saya juga mengisap vapor. Saya tidak pernah mencari-cari celah untuk merusak citra seorang vapers. Tapi, penilaian saya tidak pernah berubah, bahwa kebiasaan vaping tidak bisa membunuh kebiasaan merokok. Biar bagaimanapun, saya tetap mencari rokok sehabis makan. Kretek memang pilihan terbaik buat membunuh asem.
Sudah, ya. Ini pilihan saya, gak usah diperdebatkan.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022