Peredaran rokok tak bercukai merupakan satu persoalan yang terus terjadi dan nyaris sulit ditiadakan di pasar rokok Indonesia. Beberapa waktu lalu pihak Bea Cukai Tembilahan, Riau, telah melakukan operasi pasar, yang dari hasil operasi itu, mereka mendapatkan 8663 bungkus rokok (160.903 batang) tanpa cukai. Dari hasil operasi itu Tim Bea Cukai Tembilahan mendapatkan pula rokok berpita cukai palsu.
Beberapa pemilik toko ada yang mengaku mengetahui status ilegal rokok jualannya, ada pula dari mereka yang mengaku tidak tahu. Terlepas dari itu, maraknya peredaran rokok tanpa cukai ini disebabkan oleh tingginya juga permintaan pasar. Artinya konsumen yang menikmati barang tak bercukai ini tidaklah sedikit jumlahnya.
Tingginya angka konsumen yang membeli rokok tanpa cukai ini, selain karena harganya yang murah, juga karena harga rokok bercukai semakin mahal. Seringkali keberhasilan dari operasi bea cukai yang naik di pemberitaan adalah operasi-operasi yang terjadi pada daerah Riau, Makassar, juga Kalimantan Selatan. Kenapa peredaran rokok tanpa cukai di daerah-daerah tertentu demikian marak?
Yang pertama, bisa disebabkan karena minimnya kesadaran konsumen dalam memahami peran cukai sebagai elemen pajak tambahan yang berfungsi sebagai penjamin dari pemerintah. Bahwa produk tersebut memenuhi standar kelayakan. Kedua, tidak efektifnya pengawasan pihak bea cukai dalam menyikapi peredaran rokok tanpa cukai, atau mungkin terdapat anomali lantaran ada uang pelicin yang masuk. Ketiga, karena harga rokok yang terlampau mahal di daerah, ini besar dipengaruhi oleh naiknya cukai rokok tiap tahun, sehingga konsumen lebih memilih yang terjangkau kocek.
Terkait tidak efektifnya upaya pihak bea cukai dalam memberantas peredaran rokok tanpa cukai ini bisa ditengarai dari meningkatnya jumlah bungkus rokok yang berhasil mereka sita. Jika dari yang disita saja bisa sampai ribuan bungkus. Lalu yang tidak tersita atau yang masih beredar di masyarakat bisa ada ribuan bungkus pula. Terkadang hal ini yang kerap mengusik pikiran, setiap kali ada hasil dari barang sitaan, yang diekspos ke media adalah seremoni pemusnahannya.
Hingga hari ini tidak pernah ada pengungkapan terkait berapa banyak lagi yang belum berhasil disita. Iya memang bisa ditangkal mereka dengan pernyataan “wong barang nggak terdaftar, mana bisa tahu”. Meski sebetulnya hal itu bisa diukur persentasenya berdasar peningkatan peredaran rokok tersebut dari tahun ke tahun, artinya pula ini bisa saja berelasi dengan berapa besaran naiknya cukai rokok dan yang dimungkinkan pula (yang tak bercukai) bakal beredar.
Tetapi yang penting kita kritisi di sini, bahwa pada peruntukkan DBH-CHT terdapat pula alokasi untuk sosialisasi ketentuan cukai dan pemberantasan rokok tanpa cukai. Jika alokasi dana ini sudah terserap untuk sosialisasi ketentuan cukai, pula operasi pasar, dan proses publikasi serta seremoni pemusnahan rokok sitaan. Maka sebetulnya Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk pemberantasan rokok tanpa cukai baru sebatas pemenuhan target laporan ke publik saja. Karena toh tiap tahun selalu saja marak peredarannya. Bahkan bisa dikatakan terus meningkat.
Apakah dengan mempertontonkan seremoni pemusnahan barang sitaan itu persoalan selesai? Tentu tidak. Karena ada akar persoalan di tingkat produsen yang terpelihara terlebih distimulus pula oleh kenaikan cukai tiap tahun. Sehingga peredaran rokok tanpa cukai itupun berpotensi meningkat.
Atau jangan-jangan ini hanya ‘patgulipathirarki’ yang bermain di situ, yakni dengan sengaja memberi peluang terhadap peredarannya, maka alokasi DBHCHT untuk sosialisasi dan pemberantasan bisa dirasionalisasi. Iya, ini sih pikiran konyol saya saja. Jika memang demikian tentu hanya menguntungkan pihak yang bermain, sebab faktanya dari tahun ke tahun peredaran rokok tanpa cukai bukannya makin berkurang malah terus meningkat. Ini kan yang aneh.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024