Tak bisa dipungkiri bahwa tembakau merupakan salah satu komoditas yang sangat vital dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Prof. Dr. PM Laksono, MA, Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa tembakau sejak zaman kolonial menjadi komoditas primadona andalan bernilai ekonomi tinggi yang telah memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi pemerintah Hindia Belanda. Karena nilai ekonomis yang tinggi, tembakau sering disebut dengan istilah emas hijau. Dengan fakta itu, maka tidak heran jika segala hal ihwal yang berkaitan dengan tembakau sarat akan kepentingan.
Tembakau yang begitu “seksi” juga menyita perhatian para tokoh politik dalam negeri. Terutama dalam periode pembahasan RUU Pertembakauan, tidak sedikit politisi yang terang-terangan menyampaikan pendapatnya tentang tembakau, baik pro maupun kontra. Muhaimin Iskandar dari PKB, Soekarwo dari Partai Demokrat, serta Misbakhun dan Firman Soebagyo dari Partai Golkar adalah beberapa contoh politisi yang sering mengomentari isu tembakau.
Pada perhelatan Pilkada Jawa Timur, Saifullah Yusuf atau yang akrab disapa Gus Ipul memilih pabrik pengolahan tembakau sebagai lokasi yang dikunjungi di hari pertama kampanye. Kedatangan Gus Ipul mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja yang didominasi perempuan tersebut. Mereka tak menyangka bisa bertemu langsung dengan Cagub yang diusung Partai Gerindra, PKS, PKB dan PDI Perjuangan ini.
Gus Ipul menilai bahwa industri padat karya seperti pengolahan tembakau telah menjadi tulang punggung banyak keluarga di Jawa Timur, beliau pun berjanji akan mempertahankan industri pengolahan tembakau serta meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya. Hingga kemudian Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) menyampaikan dukungan politik secara terbuka kepada beliau.
Tak hanya Gus Ipul, Ana dan Wawan juga menjadikan isu tembakau sebagai salah satu program unggulan dalam kampanye pemilihan Bupati di Kabupaten Bojonegoro. Mereka bahkan mewacanakan bantuan tunai Rp 10 juta untuk modal tanam bagi para petani termasuk petani tembakau di Bojonegoro dengan alokasi yang bersumber dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Para petani dan pekerja tembakau kembali dihadapkan pada janji kesejahteraan.
Fenomena tersebut bukanlah yang pertama. Sudah sejak lama isu tembakau dijadikan isu andalan para calon kepala daerah, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai sentra tembakau nasional. Berbagai janji politik diumbar pada setiap elemen yang terlibat dalam dunia pertembakauan, mulai dari hulu ke hilir. Hal tersebut sah-sah saja mengingat petani dan pekerja tembakau merupakan pemilih potensial di dua daerah tersebut.
Yang menjadi penting kemudian adalah realisasi dari setiap janji politik yang diumbar. Jika kelak terpilih, melupakan janji politik pada masa kampanye tak hanya sekedar melukai kepercayaan para petani dan pekerja, tapi juga berpotensi membunuh kretek sebagai warisan budaya bangsa. Tanpa momentum politik sekalipun, kretek memang perlu dilestarikan, bukan sekedar isu dagangan yang diobral tiap 5 tahun sekali.
Jelang tutup tahun 2017 kemarin, cukai tembakau kembali menunjukkan dukungannya terhadap pemasukan negara dengan menyumbang Rp 145,48 triliun. Jumlah tersebut meningkat hampir Rp 10 triliun dari satu tahun sebelumnya. Melihat pemasukan potensial dari tembakau, maka sudah sepatutnya pemerintah dan siapapun yang berniat mencalonkan diri ke dalam pemerintahan menjadikan tembakau sebagai salah satu komoditas yang diperlakukan dengan adil dan bijak.
Perhatian pada petani tembakau dan pekerja di industri pengolahan tembakau bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan. Dengan segala kontribusinya, tembakau tidak hanya mampu membangun masing-masing daerah penghasil, tapi juga membangun Indonesia secara utuh.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022