Press ESC to close

Vape Bukan Produk yang Menjamin Anda jadi Lebih Sehat

Vape sebetulnya bukanlah produk baru yang tengah merebut pasar perokok dengan menggunakan dalih kesehatan. Beberapa kali bunyi yang sama dilariskan untuk membuat orang semakin penasaran, lalu tergoda untuk mengambil pilihan itu. Terutama bagi golongan yang taklik mempercayai vape dapat mengentaskan kecanduan merokok, salahsatunya. Pada salah duanya, justru vape di belahan dunia lain, sebut saja di Singapura,  penggunaan dan peredar vape sangat dilarang keras, bahkan sampai diamandemenkan.

Sebaliknya di negeri kita, segala hal baru yang punya daya dorong prestisius apalagi itu dianggap masuk akal. Kerap mengambil posisi di masyarakat. Banyak hal yang masuk akal dipaksakan laris, sementara akal sehat kita tak pernah benar-benar diajari memahami kenapa sebuah budaya massa itu mengambil posisi. Sebagian masyarakat kita masih membawa standar ganda, kolonialisme dan modernisme. Terlebih dalam menyikapi perkara pilihan konsumsi. Vape menegasikan yang negatif menjadi hal yang lazim kemudian. Sebagian orang mungkin mengabaikan pengetahuan tentang hal-hal yang melatari munculnya suatu produk budaya massa semacam vape.

Vape sebagai produk alternatif dari budaya merokok oleh sebagian orang disebut-sebut “hemat” dan lebih “sehat” dibanding rokok. Dan bukan rahasia memang, bunyi “hemat” dan “sehat” itu kerap dilariskan pula pada produk serupa, yakni NRT (Nicotine Replacement Therapy), yang dibalik itu semua terdapat skema kepentingan industri farmasi, terutama dalam memonopoli nikotin. Toh dalih itu hanya isapan jempol belaka. Produk yang memanfaatkan keterbelahan di masyarakat itu hanya patgulipat pasar belaka pada akhirnya. Printilan dari produk vape berupaya terus mengugah hasrat eksperiental para pengggunanya, sehingga kemudian menjadi konsumeristik terhadap produk tersebut. Fakta standar gandanya, para pengguna vape masih ada yang mengonsumsi rokok konvensional kok, yang sekali waktu dihisapnya juga. Entah sehabis makan atau di waktu bertahta di atas kloset. Dari sisi itulah pertanyaan konyolnya muncul “jadi hematnya di mana?”

Baca Juga:  Kultur Merokok di Jakarta

Di Singapura, produk rokok elektrik itu sendiri telah dilarang beredar. Bahkan ditetapkan sudah ke dalam perundangan negara tersebut. Beberapa kalangan menganggap vape menjadi medium untuk mengonsumsi narkoba. Penyalahgunaan semacam itu nisbi terjadi pada produk apa pun. Artinya penyalahgunaan bukan perkara mediumnya, tapi pula peran kartel penyedianya.

Di Singapura dalam peraturannya disebutkan bagi siapa saja yang melanggar, baik itu membeli produk vape atau menggunakan tembakau kunyah, akan didenda hingga sekitar Rp20 juta. Sementara itu, ketahuan mengimpor, menjual dan mendistribusikan vape, shisa, dan tembakau kunyah bisa didenda hingga sekitar Rp200 juta. Amandemen itu pun menaikkan batas usia minimal untuk pembelian produk tembakau, dari sebelumnya 18 tahun menjadi 21 tahun. Pemerintahnya bahkan menegaskan produk tembakau yang dilarang dan menjauhi penggunanya.

Meski demikian para perokok konvensional di Singapura tetap disediakan area-areanya. Merokok tidak pada areanya juga tegas dikenakan sanksi. Dalam konteks ini bukan berarti perokok tidak diperhatikan. Taat asas dan konsisten pada kepentingan publik itulah yang dapat menjadi role model.

Baca Juga:  Rokok Sebagai Sarana Diplomasi di Setiap Zaman

Selama ini belum ada keterangan pasti mengenai kandungan e-liquid yang digunakan pada pengguna vape. Berbeda dengan produk tembakau seperti rokok ataupula yang kita kenal sebagai kretek. Pita cukai pada produk kretek telah setidaknya mengisyaratkan adanya jaminan dari pemerintah. Baik itu soal legalitas penerimaan pajak, serta keterujian pada ranah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Jadi, bagi saya vape yang kini tengah menjadi tren di masyarakat kita. Bukanlah satu produk yang dapat dipertanggung jawabkan, spirit DIY (Do It Yourself) di kalangan penggunanya juga sarat akan kemungkinan diselewengkan. Mana kita tahu, kalau yang terkandung pada e-liquid itu ternyata memberi dampak yang lebih berisiko dari produk lainnya. Hal ini saya sebutkan bukan berarti rokok juga tidak memiliki faktor risiko. Kita pun tak perlu heran jika kemudian di pasar Indonesia, vape demikian dilariskan, selain karena ada pasar yang potensial, vape di negara lain juga sudah tidak laku. Itu saja sih.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah