Search
Kopi dan rokok

Karena Kopi, Rokok, dan Perempuan Terbelenggu Budaya Patriarki

Mari kita melihat sekeliling, tempat di mana kita lahir dan bernapas. Tempat yang dulu tampak bersahabat dan melindungi. Perlindungan seperti apa yang ditawarkan? Ada banyak, khususnya bagi perempuan. Tempat ini menawarkan banyak norma yang kata mereka bisa jadi punya maksud melindungi perempuan. Baiklah, mari kita cek sekali lagi, di tempat ini di tanah kelahiran ini seorang ayah bisa jadi memiliki beberapa lembar aturan wajib yang harus dituruti anak perempuannya. Pada waktu yang sama, bisa jadi seorang ibu menjadi pelindung bagi anak perempuannya dengan segudang aturan yang sejatinya – melarang.

Pada satu kesempatan reuni keluarga saya pernah memiliki pengalaman luar bisa (menyebalkan). Saya memang tidak terlalu menyukai urusan dapur. Tetapi kemudian, seorang paman menyarankan saya untuk ke dapur membuatkan kopi. Saya mengiyakan dan menghitung jumlah orang yang harus saya buatkan kopi. Selesai membuat kopi, saya suguhkan kepada sejumlah mereka yang saya hitung, termasuk segelas untuk saya. Paman kemudian nyeletuk, “kamu kok ngopi juga? Wah-wah, baru tahu”. Ada penuturan selain itu sebenarnya yang bikin bulu kuduk merinding, namun saya timpali dengan senyum memaksa semanis mungkin.

Selesai dengan urusan kopi, mari kita beranjak menuju benda yang mustahil dinyalakan di rumah orang tua – rokok. Yap. Rokok, benda mungil yang bisa masuk saku kemeja atau praktis dibawa ke mana-mana itu menjadi salah satu barang tabu bagi perempuan. Siapa yang menganggap tabu? Siapa lagi kalau bukan emak, bapak, sodara, tetangga, bahkan teman.

Baca Juga:  Menuntut Hak Konsumen Bagi Perokok

Belakangan, banyak perempuan mulai suka merokok. Aktivitas ini banyak saya lihat di beberapa tempat. Jika ditanya alasan mengapa mereka merokok, niscaya sulit menjawabnya. Bagi saya, mungkin tidak butuh banyak alasan, tapi berbeda bagi mereka. Apakah agar terlihat keren? Tentu saja tidak, yang ada mereka akan mendapat banyak kecaman. Yang jelas saya jadi tak habis pikir, mengapa perempuan merokok menjadi manusia yang dihinakan.

Rokok merupakan simbol ketabuan yang selama ini disematkan dalam diri perempuan, sehingga perempuan merokok kerap dianggap nakal. Padahal, perempuan yang memutuskan menjadi perokok bukan berarti dia pantas untuk dihina. Seringkali orang-orang kehilangan rasionalitas saat melihat perokok perempuan. Kategori nakal yang dilayangkan pada diri perempuan juga teramat bias.

Bagaimana bisa perokok perempuan dianggap nakal dan perokok laki-laki adalah laki-laki baik? Pola pikir macam apa yang sebenarnya merasuk dalam urat nadi masyarakat?

Rokok kerap menjadi indikator penilaian atas dikotomi perempuan baik dan perempuan nakal, tak urung sebagian laki-laki bahkan perempuan sendiri akan menganggap perempuan yang merokok itu nakal. Akibat yang ditimbulkan dari anggapan itu juga luar biasa menyebalkan. Bagaimana tidak? Banyak orang menjadi sangat usil, ikut campur urusan privasi orang lain. Bayangkan, jika hidup sebagai perokok perempuan, yang harus siap dicibir bahkan dikuntit. Akan muncul watak polisi moral dari orang-orang yang siap memvonisnya. Tidak hanya itu, mereka akan melaporkan perbuatan merokok itu, yang sebenarnya jika dilihat dari usia, si perempuan sudah bisa dikatakan dewasa untuk menampakkan ekspresi budayanya sesuai kehendaknya.

Baca Juga:  Tembakau, Emas Hijau yang Tak Dimuliakan

Masalah yang akan terjadi selanjutnya, biasanya si perempuan dilaporkan kepada keluarganya. Haduh, menjadi semakin rumit saja. Sebenarnya tidak terlalu sulit bagi kita untuk berusaha menjaga harmoni terkait batas laki-laki dan perempuan. Terlepas dari norma yang mengikat, kita mestinya memahami bahwa setiap manusia tentu tidak ingin dirinya terusik. Menjadi perokok bukan berarti mendeklarasikan diri menjadi orang nakal, jahat ataupun pantas untuk dihina. Kita perlu tahu, bahwa setiap orang mempunyai alasan dan keputusan untuk dihargai.

Biasanya di masyarakat, persoalan kesehatan menjadi satu-satunya cara untuk menakut-nakuti agar seseorang berhenti dari kebiasaan merokok. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki otoritas atas hajat hidupnya. Pola pikir patriarki biasanya yang mendalangi stigma sosial terhadap perokok perempuan, dimana laki-laki seolah memahami bahwa perempuan harus “diselamatkan” dari rokok yang dapat merusak rahim. Dalih berkedok kesehatan ini dikaitkan dengan alat reproduksi. Perlu kita kritisi lebih lanjut, bahwa selain asap rokok ataupun pekatnya kopi, ada asap kendaraan, asap pabrik dan polusi lainnya yang jauh lebih berisiko.