Press ESC to close

Menalar Citra Bali Ketika Aturan Terhadap Rokok Semakin Ketat

Bali sebagai daerah tujuan wisata yang mendunia tampaknya kian terus berbenah diri. Terutama dalam upaya meningkatkan citranya yang dikenal sejak dulu sebagai surganya para turis mancanegara berlibur. Tak ketinggalan dalam hal itu isu kesehatan yang menyasar persoalan rokok pun kian digelorakan. Melalui Perda Nomor 7 tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Bali yang kita kenal memiliki kekayaan nilai-nilai tradisi dan budaya. Nantinya akan menindak perokok yang melanggar Perda KTR tersebut. Sementara aktivitas merokok merupakan bagian dari ekspresi budaya.

Pemkot Denpasar sendiri pada beberapa waktu yang lalu telah menggelar workshop terkait Implementasi Kebijakan KTR kepada sejumlah jajarannya, untuk nantinya ditegakkan secara masif di semua desa di Bali. Salah satunya ketika menyoroti pelarangan merokok di tempat ibadah. Seperti yang kita sudah ketahui peraturan Kawasan Tanpa Rokok memang memuat poin tempat ibadah.

Lebih daripada itu, disampaikan pula kepada sejumlah pemilik ritel yang menjual rokok di Bali untuk tidak memajang barang dagangannya berupa rokok secara terbuka. Hal serupa juga terjadi pada Kota Bogor pada waktu lalu. Para peritel harus menyembunyikan barang legal tersebut dari mata publik. Iya, lagi-lagi ini sebetulnya ini hal yang absurd dari tafsir pemerintah daerah maupun kota atas penerapan KTR. Yang dengan dalih kesehatan, berharap tidak ada lagi calon perokok baru terhasut untuk merokok. Padahal perkara itu bisa disiasati melalui edukasi para orangtua di tingkat keluarga. Yang artinya peran ini bukan harus diambil pemerintah sampai harus membuat rokok seolah-olah barang ilegal.

Baca Juga:  Ketika Alokasi DBHCHT Tak Lagi Dinikmati Penghasil Cukai

Jika yang ditakutkan dari rokok adalah paparan asapnya yang mengancam kesehatan, sebetulnya masyarakat Bali sendiri sudah terbiasa dengan asap dupa setiap saat yang menjadi bagian dari unsur peribadatan. Pada muasal sejarahnya dahulu rokok pun merupakan bagian dari unsur peribadatan. Dimaknai sebagai bagian dari penghormatan terhadap ruh leluhur. Tapi tentu sebagian masyarakat, terutama antirokok tidak akan bersetuju ketika asap dupa setara maknanya dengan asap rokok, pembenarannya pastilah berkutat seputar kredo “rokok membunuhmu”.

Saya kira hal semacam itu telah ada solusinya melalui asas keadilan ruang, yakni dengan penyediaan tempat-tempat khusus merokok. Sayangnya asas tersebut kerap diabaikan oleh sebagian pihak, lantaran upaya penyediaan ruang winwin solution tersebut dianggap bertentangan dengan agenda antirokok yang ingin menyingkirkan rokok dari habit masyarakat. Kita tentu bisa bersepakat ketika ada ketentuan yang mengatur KTR, namun halnya yang perlu disikapi juga adalah hak perokok dalam mengonsumsi barang legal tersebut.

Penerapan Perda KTR yang kian ketat terkait penjualan rokok jelas akan berdampak terhadap citra Bali sebagai tujuan wisata. Dan yang nyata lagi pendapatan ritel rokok, ketika iklan rokok pula dilarang pendapatan daerah pun akan terancam. Bayangkan ketika ada turis yang ingin mengakses rokok menjadi kesulitan bahkan ketika harus mengakses ruangnya juga tiada. Apakah citra Bali yang menjadi rujukan masyarakat dunia menjadi lebih sehat oleh penerapan yang ketat itu?

Baca Juga:  Arogansi Kepala SMP 5 Bogor dan Kemalasan Sekolah Mendidik Muridnya

Tentulah akan terasa ada yang hilang dari makna berlibur bagi perokok di sana. Lain hal jika penerapan Perda KTR diimbangi pula dengan penyediaan ruang-ruang khusus merokok, dan tanpa harus ditafsir dengan penerapan sanksi pidana kepada para pelanggar KTR.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah