Terlalu banyak fakta yang membuat saya kadung emosi. Sebagai perokok, saya hampir tidak bisa lagi menoleransi kampanye menyebalkan para anti rokok. Minggu lalu jagat media dihebohkan dengan pemberitaan tentang larangan mendengarkan musik dan merokok saat berkendara. Masalahnya, larangan ini lahir dari tafsir pribadi seorang polisi atas Undang-undang.
Dalam UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan bahwa semua pengguna jalan dilarang berkendara sambil melakukan aktivitas lain yang mengganggu konsentrasi. Kemudian seorang polisi dengan sangat subjektif mengkategorikan bahwa merokok termasuk salah satu aktivitas yang mengganggu konsentrasi. Tak tanggung-tanggung, ancaman bagi pelanggar adalah sanksi pidana, bukan administrasi seperti tilang. Belakangan, Humas Polda Metro Jaya mengklarifikasi pernyataan kontroversial tersebut.
Ancaman pidana bagi perokok bukanlah hal baru. Sebelumnya, sudah banyak daerah yang memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda ini mengatur tentang kategori kawasan yang bebas dari asap rokok. Sanksi pidana juga dijadikan sebagai efek jera bagi pelanggar Perda KTR.
Poin-poin dalam Perda KTR pun tak luput dari hobi asal tafsir aparatur. Beberapa hari yang lalu, salah seorang anggota Satpol PP Kota Denpasar juga turut latah menafsirkan tindakan yang dilarang Perda KTR. Beliau menyebut bahwa perilaku merokok masyarakat harus ditekan seminimal mungkin. Kedepannya, menurut beliau, toko-toko swalayan modern pun sudah tidak diperbolehkan memajang rokok di display kasir. Boleh menjual, tapi jangan memajang. Beliau menyarankan agar rokok yang dijual ya disembunyikan atau ditutup tirai. Apa ancaman bagi pelanggarnya? Yap! Sanksi pidana.
DPRD Kotawaringin Timur (Kotim) juga tak mau ketinggalan dalam membuat regulasi tentang KTR. Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait kawasan tanpa rokok, isinya tidak hanya mengatur soal kawasan, tetapi juga tata niaga rokok di Kotim. Bahkan dalam aturan itu, soal penjualan rokok kepada anak dibawah umur adalah hal yang tegas dilarang.
Dijelaskan, salah satu sanksi yang diatur adalah pidana kurungan dan denda kepada si penjual rokok, jika terbukti dan tertangkap tangan menjual rokok kepada anak di bawah umur atau anak usia sekolah. Pertanyaannya: siapa yang akan mengawasi seluruh warung rokok di Kotim? Bagaimana dengan anak yang membeli rokok atas permintaan ayahnya? Entahlah. Hal ini yang belum selesai dijelaskan.
Dari berbagai kejadian di atas, ada satu poin yang menjadi sorotan; sanksi pidana. Hampir di setiap kebijakan dan tafsir aparatur tentang aktivitas merokok selalu menempatkan perokok pada posisi yang berhadap-hadapan langsung dengan sanksi pidana. Mengerikan.
Mengenai kontrol terhadap perokok, pada titik tertentu, saya sepakat. Perokok santun, sebagaimana yang saya pahami, tidak boleh sembarangan dalam merokok. Tidak di kendaraan umum, tidak dekat anak, juga tidak dekat ibu hamil. Hal itu mutlak penting dalam konsepsi saling menghargai. Namun, pendekatan yang dilakukan tidak perlu dengan ancaman pidana. Sosialisasi dan teguran lisan rasanya lebih masuk akal untuk diberlakukan.
Kondisi dimana perokok terbelenggu oleh ancaman pidana, saya kira, justru menciderai semangat penyetaraan hak. Belum nampak itikad baik dari pemerintah untuk menyediakan ruang merokok, kok sudah sibuk bicara sanksi-sanksi. Pidana pula. Ingin rasanya saya luapkan emosi dengan berbisik ke telinga mereka satu persatu; rokok itu barang legal, mengonsumsinya bukan tindak kriminal. Saya kira begitu.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022