Press ESC to close

Perokok Perempuan, Buruknya di Mana?

Sinisme, fitnah, tuduhan keji dan hal-hal buruk lain kerap menimpa perempuan dengan rokok di tangannya. Rokok identik dengan perzinahan dan obat-obatan terlarang. Perempuan perokok dianggap buruk dan tak diberi ruang. Seolah-olah dibolehkan, namun, stigma buruk tetap menimpa hidupnya. Tanpa berpretensi memisahkan manusia menjadi dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, kita tengah menghadapi realitas yang sungguh absurd: perempuan yang merokok masuk dalam kategori berperilaku buruk. Aduh!

Pertama, kita mesti mafhum dengan posisi perokok perempuan di Indonesia yang (semoga saya tidak salah) terkungkung budaya partiarki. Tanpa perlu membaca literatur feminisme, kita bisa melihat dan sadar betapa laki-laki punya peran amat penting dalam setiap peristiwa dan pengambilan keputusan. Termasuk, keputusan mengklaim bahwa perempuan yang merokok masuk ke dalam kategori berperilaku buruk. Kedua, perempuan perokok di Indonesia menghadapi para perempuan yang anti-rokok. Baik dalam sikap ketaatan beragama, mantan perokok yang melawan rokok, atau perempuan yang membentuk dirinya agar terlihat ‘baik-baik’ dalam pandangan masyarakat. Kita maklum, para perempuan baik-baik tak bisa tak ada. Mereka harus ada demi keseimbangan sosial. Maka, perokok perempuan di sini tidak hanya menghadapi kaum laki-laki saja, mereka juga menghadapi kaumnya sendiri.

Ada beberapa hal yang mendasari perempuan memutuskan untuk merokok. Sebut saja misalnya hanya coba-coba, gaya hidup, pelarian, kandungan nikotin untuk kesadaran, merangsang kinerja otak, stabilitas pernapasan, keperluan pementasan teater atau peran dalam film, dan tentu banyak hal lain yang tak bisa disebutkan satu per satu. Sayangnya, kita kadung tumbuh dalam cara berpikir satu arus: jika masyarakat menstigmakan perempuan yang merokok dalam kategori ‘bertingkah laku buruk’, maka, kita latah mengafirmasi itu tanpa perlu tahu siapa dia dan apa tujuannya merokok. Padahal, banyak juga laki-laki yang berprofesi sebagai ustadz atau pemuka agama, guru, pegawai pemerintah, dan banyak profesi sosial lain yang merokok. Konsekuensi logis itu masih tak bisa diterima bagi kaum perempuan.

Baca Juga:  Ketika Rokok Dijadikan Alat Kampanye, Apakah Tanpa Pita Cukai?

Perokok perempuan di perkotaan dan perdesaan menghadapi ruang yang berbeda. Di kota, kita biasa melihat perokok perempuan masyuk nongkrong di kafe-kafe sambil cekakak-cekikik bersama kaum laki-laki. Biasanya, kaum urban akan mewajarkan hal itu. Tapi, stigma buruk tetap melekat dalam pikiran. Perempuan perokok sudah pasti berlabel “nakal”. Pergaulan yang tak sehat. Bahkan, menjorok ke seks bebas. Kita luput memperhatikan mereka, para perokok perempuan yang setiap harinya membutuhkan berbatang-batang rokok untuk menulis di depan laptopnya. Atau, perempuan perokok yang berpikir dalam ruang-ruang diskusi. Kita juga tak peduli dengan perempuan yang tanpa nikotin tak bisa benar-benar ‘sadar’ dan ‘hidup’. Padahal, ia harus tetap bekerja untuk menyambung hidup. Perokok perempuan di ruang-ruang kesenian dan lingkungan dengan orang-orang yang berpikir terbuka masih dianggap wajar. Di kehidupan sehari-hari, mereka tetap terasingkan.

Mari kita hitung dengan realistis dan sedikit matematis. Kita punya dua prototipe sosok perempuan perokok yang produktif: Djenar Maesa Ayu dan Danilla Riyadi. Djenar, penulis berlabel “sastrawangi” itu adalah juga seorang perokok berat. Ia berani mendobrak kepenulisan sastra di Indonesia dengan narasinya yang vulgar namun sarat kritik sosial. Sejalan dengan Djenar, Danilla pun punya ritual yang khas: setiap kali konser, rokok mesti menyala dan asbak harus tersedia. Mereka merokok dan produktif. Bahkan, jauh lebih produktif dan mendapat pengakuan ketimbang perempuan yang tidak merokok tapi sehari-harinya hanya menonton televisi dan bergosip.

Di sini, kita bisa membedakan perempuan perokok dan perempuan anti-rokok ke dalam dua kategori berbeda: (1) perempuan perokok produktif, (2) perempuan perokok tidak produktif, (3) perempuan anti-rokok produktif, dan (4) perempuan anti-rokok tidak produktif. Dari kategori itu, kita bisa membuat satu kesepakatan yang seimbang: perempuan anti-rokok tidak produktif haram hukumnya berstigma buruk pada perempuan perokok produktif, begitu juga sebaliknya. Perempuan perokok tidak produktif juga tidak bisa berstigma buruk pada perempuan anti-rokok produktif. Kesepakatan ini juga bisa berlaku untuk laki-laki yang produktif dan tidak produktif. Sayangnya, kaum urban perlu waktu yang panjang untuk tumbuh dengan kesadaran sederhana itu.

Baca Juga:  Ponorogo dan Perlindungan Petani Tembakau

Kewajaran di perkotaan lain soal dengan para perempuan perokok di desa-desa pegunungan. Jika berkunjung ke sawah di pegunungan, luangkanlah waktu untuk melihat para petani perempuan yang merokok untuk mendukung staminanya saat bekerja. Kita bisa melihat mereka duduk di pinggiran sawah, di saung-saung dekat saluran irigasi. Sembari memakai topi jerami, mereka menghisap rokok dengan khidmat. Menikmati sebuah jeda sebelum kembali mengangkat beban berat, menabur benih dan membajak. Petani perempuan yang sudah sepuh juga merokok untuk menyambung napasnya di ladang. Di sini, rokok berfungsi sebagai penyambung hidup, suplemen bagi para petani.

Di tangan perempuan, rokok bisa menghasilkan karya sastra berkualitas dan musik berkelas. Perempuan juga menggunakan rokok untuk mendampingi tumbuh-kembang padi dan palawija. Penyokong bagi tersedianya kebutuhan pangan kita. Lantas, di mana letak ‘berperilaku buruk’ itu?

 

Ayu Alfiah Jonas
Latest posts by Ayu Alfiah Jonas (see all)

Ayu Alfiah Jonas

Bergiat di FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat) dan Komunitas Sastra RusaBesi