Press ESC to close

Menyusupkan Ayat Siluman Pada Peraturan Soal Alokasi DBHCHT

Sudah sejak lama sebenarnya politik anggaran di daerah membuat tujuan dari keberadaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau tidak pernah tepat sasaran. Alokasi DBHCHT, yang sebenarnya bertujuan untuk membantu pengembangan penghasil cukai amat jarang terlaksana. Kalaupun ada, bentuk paling biasa dari hal itu adalah pemberian bibit atau pupuk, yang itupun masih diklaim sebagai bantuan dari pemerintah daerah.

Sebenarnya, alokasi DBHCHT harusnya dialokasikan untuk beberapa persoalan seperti peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi aturan soal cukai, dan pemberantasan rokok ilegal. Kelima hal ini jadi konsern utama dari pemberian DBHCHT, yang sayangnya tidak semua benar-benar dijadikan perhatian pemerintah daerah.

Poin ‘pembinaan lingkungan sosial’ menjadi ladang basah untuk pembagian porsi DBHCHT. Penggunaan anggaran yang katanya untuk membina lingkungan sosial itu digunakan untuk mengiklankan beragam baliho agar masyarakat tidak merokok, menghindari rokok, atau menyebut rokok itu adalah pembunuh. Sisanya, kebanyakan digunakan untuk anggaran kesehatan masyarakat.

Pemanfaatan DBHCHT untuk persoalan kesehatan memang tidak perlu dibantah. Toh itu memang bukan persoalan. Yang kemudian membuatnya menjadi masalah adalah: alokasinya yang jauh lebih besar ketimbang kebutuhan lain untuk petani ataupun industri.

Permasalahan tadi kemudian dibuat menjadi makin keruh ketika, pemerintah lewat kebijakan, membuat aturan alokasi dana yang makin tidak adil. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 Tahun 2017, disebutkan aturan yang mengharuskan anggaran DBHCHT dialokasikan minimal 50% untuk urusan kesehatan. Hal ini termakhtub dalan sebuah ayat (susupan) di pasal 2 tentang penggunaan DBHCHT.

Baca Juga:  Membedah Sesat Pikir Tulus Abadi

Pada pasal 2 ayat 2 PMK 222 tahun 2017 disebut:

“Program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional paling sedikit sebesar 50% dari alokasi DBH CHT yang diterima setiap daerah.”

Jika kemudian alokasi DHCHT dilakukan sesuai dengan arahan ayat tadi, artinya minimal 50% anggaran DBHCHT yang diterima pemerintah daerah harus dialokasikan untuk segala hal berbau jaminan kesehatan. Ini sama saja dengan memangkas anggaran yang nantinya bakal dibagi guna kebutuhan dua stakeholder penghasil cukai: yakni untuk peningkatan kualitas bahan baku bagi petani dan pembinaan lingkungan industri untuk pengusaha skala kecil menengah.

Selama ini alokasi dana untuk kedua hal tadi boleh dibilang sangat tidak terasa bagi para stakeholder. Di lingkungan pertanian, tidak pernah ada program-program yang menunjang berkembangnya teknologi pertanian. Budidaya tembakau hari ini masih tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan 20 tahun lalu. Industri kecil, masih saja tertekan kebijakan dalam kondisi “bisa bertahan hidup saja sudah bagus”.

Sementara itu, poin “pembinaan lingkungan sosial” yang sudah menerima banyak dana, justru dibuatkan peraturan yang membuatnya menjadi semakin basah. Bayangkan saja, jika dalam peraturan disebut minimal 50% alokasi diberikan pada urusan kesehatan, maka alokasinya bisa saja diberikan hingga 90%. Itu sih namanya aturan keblinger yang tidak mengakomodir kepentingan semua pihak.

Contoh paling nyata dari keberadaan PMK tersebut adalah pembagian alokasi DBHCHT untuk Dinas Kesehatan Kota Batu mencapai angka Rp 6,5 miliar atau 50% dari total DBHCHT sebesar Rp 13 miliar. Katanya sih, anggaran tersebut nantinya bakal digunakan untuk peningkatan fasilitas kesehatan dan suplai dana untuk BPJS Kesehatan.

Bayangkan saja, jika dalam peraturan disebut minimal 50% alokasi diberikan pada urusan kesehatan, maka alokasinya bisa saja diberikan hingga 90%. Itu sih namanya aturan keblinger yang tidak mengakomodir kepentingan semua pihak.

Seandainya saja anggaran sebesar itu digunakan untuk peningkatan teknologi pertanian atau pembinaan lingkungan industri, sudah pasti para stakeholder mampu berbuat lebih untuk meningkatkan pendapatan cukai bagi negara. Apalagi, selama ini sektor pertanian selalu diterpa isu impor yang menjadi bukti kalau ketersediaan tembakau dalam negeri belum mencukupi kebutuhan nasional. Mungkin, jika itu benar-benar terjadi, tidak bakal lagi ada perseteruan terkait impor antara petani dan industri.

Baca Juga:  Fenomena Tingwe Memunculkan Peluang Usaha Bagi Kalangan Muda

Sayangnya, hal-hal seperti itu seakan mustahil terjadi di Indonesia. Selama pendapatan cukai besar, agaknya nasib petani dan stakeholder lain tidak perlu dipedulikan oleh pemerintah. Dan demi citra pemerintah yang peduli kesehatan, ya buat saja ayat susupan seperti yang dilakukan di PMK di atas. Sudah, selesai urusan.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit