Dalam sektor pertanian mungkin memang jamak diketahui bahwa sertifikasi bibit adalah satu poin penting untuk menghasilkan tanaman yang bagus. Selama bibit yang ditanam bersertifikasi, ada jaminan bahwa hasil panennya akan baik. Setidaknya, begitulah yang tertanam dalam benak semua kita.
Mungkin, sertifikasi memang menjadi faktor kunci dalam beragam komoditas tanam di Indonesia. Tapi kemudian, ada beberapa persoalan yang hadir pada urusan ini. Pertama, apakah pola semacam ini bisa dilakukan untuk semua komoditas? Kemudian, jika sertifikasi hanya dijadikan dalih untuk monopoli penjualan bibit, bagaimana nasib petani yang terbiasa untuk membuat bibit tanamannya sendiri?
Pada komoditas endemik nusantara, cengkeh, sertifikasi bibit justru menjadi lahan monopoli untuk penjualan bibit. Tidak sembarang orang boleh menjual bibit cengkeh. Padahal, bagi sebagian petani cengkeh, mereka mampu saja menanam pohon cengkeh baru tanpa harus membeli bibit yang dijual oleh lembaga bersertifikasi. Sebenarnya mereka bisa saja melakukan pembibitan tanaman sendiri tanpa perlu membeli bibit lagi yang artinya: menambah biaya produksi.
Karenanya ketika terdengar kabar terkait sertifikasi bibit tanaman tembakau, saya merasa jika hal ini benar-benar dipaksakan untuk semua petani tembakau sama saja artinya dengan membuat wadah dagang baru di sektor ini.
Padahal, jika kita melihat budidaya tanaman tembakau, agaknya tidak perlu petani membeli bibit dari pihak lain. Hal ini dikarenakan mereka sendiri telah mampu melakukan pembibitan secara mandiri.
Terkait bibit bersertifikasi ini, mungkin saja, bisa diterapkan pada para petani yang baru memulai usaha menanam tembakau atau petani yang hendak meningkatkan produktivitas tembakaunya. Karena memang biasanya perusahaan yang bermitra dengan petani memiliki standar sendiri terkait jenis tembakau apa yang akan mereka beli. Untuk itu, perusahaan biasanya akan memberi bibit yang jadi kebutuhan, dan nantinya petani tinggal membudidayakannya kembali.
Tujuan dari sertifikasi tembakau mungkin saja baik. Hanya saja, perlu diingat jika sertifikasi cuma dijadikan dalih untuk memonopoli bibit mana yang boleh ditanam petani, dan memaksa petani harus membeli bibit yang bisa mereka produksi sendiri, tentu saja keberadaan sertifikasi hanya akan merugikan petani. Seperti apa yang dialami oleh para petani cengkeh.
Namun, jika keberadaan sertifikasi hanya ada dalam konteks memastikan bibit-bibit unggul saja yang boleh ditanam petani, tanpa memaksa mereka untuk membeli, maka sertifikasi bisa jadi memang perlu diadakan. Tapi diluar itu, ada kebutuhan yang lebih besar terkait bibit dan tanaman ketimbang mengurus sertifikasi, yakni pengembangan teknologi pertaniannya.
Harusnya urusan ini berkembang menjadi rekayasa genetik bibit untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Kemudian, segala persoalan menuju pada kebutuhan pengembangan teknologi pertanian, yang di Indonesia ini boleh dibilang tidak berkembang. Saya kira, hal ini jauh lebih penting ketimbang sekadar mengurus sertifikasi tanaman sahaja.
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024