KOMUNITASKRETEK.OR.ID – Dulu saya meyakini bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah representasi dari rakyat yang sesungguhnya. Kini keyakinan itu perlahan pudar, mengingat segala ihwal perilaku individu anggotanya yang cenderung pragmatis dan oportunis. Bagaimana tidak, demi memuluskan kepentingannya, mereka kerap mengklaim suara rakyat sebagai alasan pengambilan keputusan. Apakah rakyat benar-benar merasa terwakili? Hal ini yang tidak pernah dapat dipastikan.
Bicara rakyat artinya membicarakan banyak orang. Apalagi di Indonesia, sangat sulit rasanya mewakili kepentingan 250 juta orang dalam satu kebijakan. Pasti ada yang senang dan ada yang tidak. DPR, yang mengklaim sebagai wakil rakyat, harus mau bottom up, mendengar kebutuhan rakyat sebelum mewacanakan kebijakan. Jangan terbalik (top down), mewacanakan terlebih dahulu baru mengabarkan. Melibatkan rakyat dalam pembahasan setiap kebijakan adalah langkah paling bijaksana yang harus ditempuh. Kebijakan apapun itu, termasuk kebijakan anggaran.
Pekan lalu, anggota DPR kembali meminta anggaran dengan nominal yang fantastis, yakni Rp 7,72 Triliun untuk pebambahan gedung baru. Berbagai alasan digunakan untuk memuluskan rencana tersebut. Mulai dari membandingkan gedung parlemen Indonesia dengan parlemen luar negeri, sampai dengan kondisi gedung DPR yang dipenuhi asap rokok. Kontroversi ini bukan yang pertama kali terjadi, sebelumnya DPR juga sering mewacanakan pembangunan gedung baru dengan nominal yang tidak sedikit. Jangan heran.
Mungkin oknum anggota DPR akan merasa bangga jika komplek kerja mereka lebih cihuy, meskipun angka kemiskinan kita jauh di atas negara lain. Entah logika apa yang digunakan hingga mereka menjadikan kemewahan gedung parlemen sebagai indikator ‘kemenangan’ dari negara lain. Pembangunan gedung harus disesuaikan dengan kebutuhan. Bukan hanya mengikuti nafsu dan gengsi.
Salah satu alasan yang paling menyita perhatian saya adalah penilaian tentang gedung DPR yang disebut penuh dengan asap rokok. Masih ingat polemik anggaran Rp 2 Miliar untuk renovasi toilet DPR? Bayangkan jika Setya Novanto sedang buang air di toilet itu, rasanya beliau akan tetap nyaman tanpa gangguan asap, meski saya dan 25 orang lainnya sedang merokok berjamaah di area parkir. Saya belum pernah menemukan rokok beraroma ekstra kuat dan berasap tebal yang mampu memenuhi komplek seluas ± 80.000 m2. Selain itu, aroma pengharum ruangan anggota dewan senilai Rp 2,6 Miliar juga masih terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh asap rokok.
Mungkin oknum anggota DPR akan merasa bangga jika komplek kerja mereka lebih cihuy, meskipun angka kemiskinan kita jauh di atas negara lain. Entah logika apa yang digunakan hingga mereka menjadikan kemewahan gedung parlemen sebagai indikator ‘kemenangan’ dari negara lain.
Sangat aneh jika ada yang mewajarkan argumentasi oknum dewan tentang asap rokok dalam manuver politik anggaran. Bukan saya mau memaklumi mereka yang merokok di dalam gedung, tapi, argumentasi seorang wakil rakyat harus benar-benar menunjukkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Kalau memang asap rokok dianggap mengganggu kerja pelayanan dewan, ya, sediakan ruang merokok. Sederhana saja. Tak perlu semewah toiletnya. Lagipula, ketersediaan ruang merokok itu amanat konstitusi. Saya rasa langkah itu lebih masuk akal untuk dipilih, dibanding membuat gedung mewah (lagi).
Biar saya sederhanakan. Terkait gangguan asap rokok, DPR punya 2 opsi; pertama, tetap membangun gedung baru senilai Rp 7,72 Triliun. Kedua, cukup menyediakan ruang merokok yang juga merupakan amanat konstitusi.
Semoga para anggota dewan mau mengambil langkah yang dapat menumbuhkan keyakinan saya yang mulai pudar; menjadi representasi rakyat sesungguhnya.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022