Adalah para petani tembakau yang seharusnya merasa kehilangan dengan tiadanya balai penelitian untuk komoditas tembakau. Balai penelitian yang disebut-sebut oleh salah seorang anggota DPR komisi IV, bahwasanya sudah tiga tahun terakhir balai tersebut dinilai punah. Dianggap tiada lagi peran dan fungsinya dalam kerangka mengembangkan komoditas yang 80% lebih terserap untuk industri rokok itu. Lebih jauh lagi disinggung pula peran Kementrian Pertanian yang tidak fokus pada persoalan tembakau.
Namun memang problem kepunahan tidak hanya dilihat dari satu hal itu saja. Ketika kita pula mengetahui bagaimana rezim antitembakau terus saja memainkan isu-isu kesehatan untuk meniadakan rokok dari kehidupan perokok. Dengan tiadanya balai penelitian tembakau yang bertugas mengembangkan potensi bibit tembakau untuk kemajuan di sektor hulu pertembakauan. Maka ditengarai dari sini terdapat penyimpangan terkait peruntukkan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau). Yang memang tidak berjalan baik dalam penerapannya. Lebih terang dikatakan tidak tepat guna.
Dalam mengurusi komoditas ini tentu tidak hanya Kementerian Pertanian saja yang patut diinterupsi. Ada beberapa kementrian lain seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Perdagangan, yang juga ambil peran dalam mengatur sektor tersebut. Dan jika kita tilik kesemua peran kementerian tersebut seperti tidak terintegrasi dengan baik dalam mengangkat sektor yang memberi serapan pendapatan triliuan rupiah untuk pendapatan negara ini. Bahkan jika boleh dicurigai hal ini pun tak luput dari campur tangan kelompok antitembakau dalam menggolkan kepentingan pengendalian tembakau di Indonesia. Premis ini tentu bukan tanpa alasan yang melatarinya, ketika kita juga tahu adanya keganjilan terkait Undang-undang yang menjadi payung hukum dari PP 109/2012 tentang pengendalian tembakau selama ini, yakni Undang-undang kesehatan.
Artinya ada porsi lebih dari Kementerian Kesehatan untuk campur tangan mengatur tata kelola serta tata niaga pertambakauan. Hal itu diperkuat lagi dengan adanya porsi Kementrian Kesehatan dalam memainkan salah satu poin peruntukkan pada DBHCHT. Yang di situ kerap memainkan tafsir manasuka pada pengejawantahan poin pengembangan lingkungan sosial. Seperti halnya yang kerap terjadi digunakan untuk kampanye berhenti merokok yang memanfaatkan dalil kesehatan sebagai pembenarannya.
Dari sisi itu saja bisa kita tengarai bahwa, peran kementerian lainnya, sebut saja Kementerian Pertanian sendiri tidak terlalu mendapat porsi lebih, terutama dalam memproteksi keberadaan petani tembakau. Alur peruntukkan DBHCHT yang pada salah satu poinnya mengisyaratkan sekian persen dananya untuk kembali ke pengembangan dan kemajuan pertanian tembakau, dalam konteks ini tidak semua terkelola dengan baik sehingga dituding gagal fokus. Karena dari keberangsungannya sama sekali tidak begitu terasa dampaknya ke petani tembakau.
Jika memang memiliki dampak signifikan tentulah dengan punahnya balai penelitian tembakau akan ada sikap dari para petani tembakau yang memprotes itu. Iya memang tidak semua masyarakat pertembakauan melihat secara utuh pentingnya balai penelitian di sektor tersebut. Bahkan boleh dikata, semua pihak hanya disibukkan menyoroti isu kesehatan yang selama ini dikait-kaitkan dengan tanaman tembakau serta rokok yang dibingkai buruk bagi kesehatan. Dari kenyataan itulah, isu kesehatan jadi dilihat jauh lebih penting dibanding isu lainnya dalam pertembakauan, dan membuat sektor tembakau ini seakan tidak lagi layak mendapat perhatian khusus, terutama dalam upaya dikembangkan ataupun ditinggikan gengsinya lebih daripada yang selama ini terjadi.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024