Press ESC to close

Sandiaga Uno yang Asal Omong Soal Zakat dan Cukai

Agaknya nama Sandiaga Uno dan kata kontroversi makin hari makin tak terpisahkan. Dirinya boleh saja menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tapi, kelakuannya, tetap saja seperti Sandiaga: penuh kontroversi.

Masih hangat dalam ingatan tatkala dirinya menyebut pejalan kaki sebagai biang kemacetan di Tanah Abang. Ucapan yang kemudian Ia ralat sendiri setelah kehebohan terjadi karena ucapannya. Mungkin kala itu, Ia sadar jika ucapan asal omongnya memang salah dan perlu diralat agar tidak ada pretensi negatif terhadapnya.

Kebiasaan asal omong yang omong kosong ini bukan sekali dua kali Ia lakukan. Entah memang kapasitas dirinya yang cuma segitu saja, atau memang dirinya suka dengan kontroversi, tapi sebagai Wakil Gubernur agaknya Sandiaga Uno perlu lebih banyak berpikir sebelum berbicara.

Belum lama ini, Ia juga dengan asyiknya membandingkan pendapatan cukai dan pajak. Katanya: “Masak orang rela membayar Rp 148 triliun untuk rokok, untuk zakat hanya Rp 8 triliun?”. Sebuah ucapan yang mungkin niatnya baik, ingin menaikkan target penerimaan zakat. Sayangnya, Ia membuat satu kesalahan tatkala membandingkannya dengan cukai.

Perlu Sandiaga Uno pahami bahwa zakat dan cukai dua perkara yang amat berbeda. Zakat itu penerimaan yang walau dalam agama ada yang hukumnya wajib, tetap saja bersifat sukarela. Pungutan ini dibayarkan seseorang sesuai dengan nisabnya, tidak sama nilainya pada semua orang. Dan yang terpenting, zakat bukanlah sesuatu yang dibayarkan berdasar pembelian suatu barang.

Baca Juga:  Kiat Menghindari Cukai Lama Harga Baru

Sementara itu cukai adalah pungutan yang dikenakan pada sebuah barang konsumsi: kretek. Ia dibayarkan sepaket dengan upaya membeli sebuah barang. Ini adalah pungutan yang suka ataupun tidak, harus dikeluarkan agar seseorang bisa mendapatkan barang yang dia inginkan.

Tentu saja kedua hal ini tidak bisa dibandingkan, karena memang tidak apel dengan apel. Yang satu pungutan berbasis kesukarelaan, yang satu ya mau tidak mau harus dibayarkan agar bisa mendapatkan rokok. Dilihat dari dasar pungutannya pun, kedua hal ini amat berbeda. Zakat itu dibayarkan berdasar hukum sebuah agama, sementara cukai ya pungutan resmi negara.

Selain itu, angka yang dipungut dari setiap batang rokoknya terbilang tinggi, sekitar 50% dari nilai barang tersebut. Jadi wajar saja jika penerimaan atas cukai selalu tinggi, toh pemerintah selalu menetapkan target tinggi kepadanya. Apalagi kretek adalah salah satu barang konsumsi kegemaran anak bangsa.

Sekali lagi, mungkin niat Sandiaga Uno menyatakan hal di atas adalah baik. Namun, kebiasaan asal omongnya ini, sekali lagi, berpotensi menimbulkan kericuhan. Apalagi ada pretensi mendiskreditkan cukai dalam ucapannya. Hal yang tentu saja harus Ia hindari mengingat posisinya sebagai Wakil Gubernur.

Baca Juga:  Pabrik Rokok, Buruh, dan Pandemi

Jangan sampai, ucapannya ditafsirkan masyarakat dalam konteks yang buruk. Seakan, pendapatan cukai untuk negara sebesar Rp 148 Triliun tidaklah berarti ketimbang pajak. Seakan, membayarkan Rp 148 triliun untuk negara melalui cukai rokok adalah hal yang buruk. Jangan sampai hal-hal macam begini muncul karena asal omong yang (kerap) omong kosong.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit