Industri rokok di Indonesia sebagai salah satu sumber pendapatan bagi negara tiap tahun sebetulnya kerap mengalami dilema. Dilema itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang salah satunya diakibatkan oleh kenaikan cukai. Juga tiadanya perlindungan yang berpihak terhadap konsumen rokok. Malah regulasi yang ada begitu diskriminatif.
Produk kretek terutama, di antaranya dari golongan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang kian hari kian bertumbangan pabriknya dikalahkan oleh perubahan selera pasar dan desakan regulasi. Tidak sedikit konsumen kini yang beralih mengonsumsi rokok kategori LTLN (Low Tar Low Nicotine), atau yang umum kita kenal sebagai rokok mild.
Banyak perusahaan rokok besar berlomba-lomba menciptakan jenis mild-nya dengan kekhasan masing-masing. Meski sebetulnya tren itu pun tak menjamin pendapatan yang signifikan. Karena cukai rokok sebagai instrumen pengendali justru menjadi cara lain untuk membunuh pelan-pelan industri rokok skala kecil yang merupakan bagian dari agenda antirokok dalam mengaksesi traktat FCTC.
Dari 600 pabrik yang memiliki izin, kabarnya hanya 100 pabrik saja yang masih aktif berproduksi. Yang aktif itu ya umumnya pabrikan besar. Jumlah karyawannya pun mengalami penurunan. Pelaku usaha di sektor kretek ini terus mengalami dilema, apalagi ketika mereka harus dibenturkan pada kenyataan pasar yang bergerak fluktuatif.
Dari sejumlah pabrik yang masih bertahan umumnya pula hanya memproduksi mengandalkan pesanan. Pabrik rokok skala kecil dan menengah itu tidak lagi mampu memenuhi selera konsumen yang terus berubah mengikuti perkembangan. Selain problem pangsa pasar yang terus tergerus, persoalan permodalan pun menjadi satu hal yang tak terelakkan. Masalah inilah yang nyata dihadapi dan tak terelakkan, sehingga berakibat pada tutupnya sejumlah pabrik, bahkan sampai menanggung pameo; hidup segan mati tak mau.
Kenyataan itu tentu berdampak terhadap serapan tenaga kerja. Seperti yang kita ketahui industri rokok SKT merupakan sektor padat karya yang mampu menyerap banyak pekerja. Pada sektor rokok putih pun dikabarkan kurun beberapa tahun terakhir mengalami penurunan volume penjualan. Ini semua jelas akan memberi pula pengaruh terhadap pemasukan negara nantinya.
Di satu sisi pemerintah membutuhkan pemasukan dari sektor riil ini, namun di sisi lain pemerintah seakan tidak mau peduli dengan dilema yang dialami industri rokok dalam negeri. Yang terus saja menjelang akhir tahun nanti menghadapi ancaman kenaikan tarif cukai yang tak dapat dibendung. Belum lagi nasib konsumennya (baca: perokok) yang terus saja mengalami stigma buruk yang dimainkan antirokok.
Kiranya jika pemerintah masih memiliki perhatian terhadap sumber pemasukan dari industri rokok, maka sudah seharusnya upaya yang diambil bukan melulu mengandalkan dalih kepentingan antirokok. Yang selalu mendesakkan kampanye kesehatan.
Dan agar pula pasar rokok dalam negeri mendapat jaminan yang postif untuk tetap memberi nilai kesejahteraan, jangan ada lagi upaya yang membuat pabrikan terpukul oleh regulasi yang tidak berpihak. Jika kenaikan tarif cukai di tahun depan dibikin lebih tinggi lagi, penurunan produksi rokok jelas akan lebih mencemaskan. Niscaya akan semakin bertambah pabrik kretek yang tutup. Jika sudah begitu siapa yang bakal menanggung kerugian besar?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024