Press ESC to close

Jika Kantor Staf Presiden Benar, Lebih Baik Negara Segera Mengilegalkan Keberadaan Rokok di Indonesia

Kantor Staf Presiden benar, rokok tak pernah benar-benar menguntungkan negara. Ia memang memberi pemasukan hingga 7% APBN pada tahun lalu, tapi tetap saja kerugian yang ditimbulkan selalu berkali-lipat dari jumlah pemasukannya. Angka 149 triliun pada tahun lalu tak akan ada artinya jika kerugian yang ditimbulkan mencapai tiga kali-lipat jumlah tersebut.

Pengeluaran BPJS untuk penyakit tidak menular sebesar 16,9 triliun. Anggaran kementerian kesehatan di APBN berkisar 58,3 triliun. Kalau ditotal, jumlahnya hanya sekitar 75 triliun. Cuma setengah dari jumlah pemasukan negara dari cukai rokok. Itu pun baru dari cukai saja, belum pajak pertambahan nilai, pajak dan retribusi daerah, juga pajak dari perusahaan dan pekerja di industri rokok.

Lalu dari mana ruginya, kan itu cuma setengahnya cukai? Di sini persoalannya. Perkara rugi akibat rokok itu tak pernah dihitung berdasar angka riil yang dikeluarkan oleh negara. Logika kali-lipat kerugian dari rokok itu dihitung berdasar POTENSI KERUGIAN karena orang-orang yang merokok. Mulai dari berapa jumlah uang yang DIBAKAR hingga POTENSI KERUGIAN seseorang karena tidak produktif setelah terkena penyakit tidak menular karena rokok. Yang kalau dijumlah, tinggal cari jumlah pendapatan dari cukai lalu kalikan 3 atau 4, dan itulah kerugian karena rokok.

Saya tidak tahu apakah logika mencari rugi selalu menggunakan hitungan yang seperti ini atau tidak. Tapi dari total pengeluaran masyarakat karena membeli rokok, sekitar 60%-nya selalu dinikmati negara dari tiga jenis pungutan; Cukai, PPN, dan PDRD. Ini berarti, pemasukan untuk negara tetap dihitung kerugian.

Kemudian hitungan kerugian dari potensi tidak produktifnya seseorang karena merokok. Ini satu hal yang lebih absurd lagi. Setiap orang sakit dihitung ketidakproduktifannya dan jumlahnya ditimpakan sebagai kerugian akibat merokok. Emangnya setiap orang yang sakit jantung itu disebabkan oleh rokok ya?

Baca Juga:  Mewaspadai Oligopoli Pasar Kretek Akibat Penggabungan Batas Produksi dan Simplifikasi Cukai

Ini kesewenangan tafsir dan logika dari pihak yang menghitung jumlah kerugian akibat rokok itu. Selalu saja semua orang yang kena jantung atau kanker dan penyakit menular lainnya sebagai dampak dari rokok. Meski kemudian kita tahu ada seorang mantan menteri kesehatan yang terkena kanker paru walau tidak merokok dan tidak hidup di lingkungan perokok. Jangan-jangan, nanti setiap ada orang sakit itu diklaim sebagai akibat dari rokok. Kudisan sekalipun.

Tapi memang betul. Dengan logika yang terbangun tadi, orang-orang tentu berpikir kalau rokok itu merugikan dan membuat orang menjadi miskin. Jadi selain rokok menjadi kambing hitam dari segala penyakit, kini Ia mendapat tambahan atribut sebagai penyebab kemiskinan.

Logika semacam ini didapat berdasar temuan BPS yang menyebut kalau rokok menjadi pengeluaran terbesar KEDUA masyarakat setelah beras. Jadi, dua hal utama yang memiskinkan rakyat adalah beras dan rokok. Logika ini tercipta karena pola penghitungan kemiskinan seseorang akibat pengeluarannya dari kebutuhan konsumsi. Selama pengeluaran konsumsi melebihi sekian persen dari pendapatan, maka Ia memiskinkan.

Satu hal yang tak pernah dihitung BPS atau Kementerian Kesehatan (juga orang-orang di Kantor Staf Presiden), merokok adalah salah satu hal rekreatif yang mampu dibeli orang miskin itu. Meski kerap mengangkat persoalan kesehatan jiwa, tapi rezim kerap abai melihat rokok sebagai salah satu obat paling murah yang bisa didapat agar tidak terkena stres hingga gangguan jiwa.

Baca Juga:  Rokok Elektrik, Bukan Pilihan Tepat Sehabis Makan

Rokok memang tidak serta-merta memberikan keuntungan pada konsumennya. Tapi karena rokok itulah Ia mendapatkan semangat untuk berproduksi. Agar mereka dapat menghasilkan uang dan bisa bertahan hidup. Posisi rokok dalam hal ini sama seperti kopi atau teh bagi sebagian orang, menjadi mood booster untuk lebih produktif dalam bekerja.

Lagi pula menimpakan kesalahan negara pada rokok dalam urusan kemiskinan adalah satu lagi kebiasaan tak betul yang dilakukan BPS serta lembaga-lembaga yang ikut-ikutan menyalahkan rokok. Rakyat miskin itu problem struktural, karena kebijakan negara yang tidak pernah benar-benar berpihak pada mereka. Kalau ketidakmampuan negara mencipta harga pasar yang stabil dan kegagalan mencipta lapangan pekerjaan untuk semua orang ditimpakan pada rokok, pantas saja rezim hari ini selalu dibela meski banyak melakukan kebodohan.

Usul saya kemudian, kalau memang rokok itu selalu merugikan dan membuat rakyat menjadi miskin, ada baiknya perjuangan kelompok penjaga kesehatan rakyat ini fokus pada upaya mengilegalkan rokok. Buat rokok jadi barang terlarang, matikan semua industri rokok. Jangan sampai ada rokok yang beredar di negara ini. Kalau memang murni memperjuangkan kesehatan rakyat, larang total penjualan rokok. Jangan cuma gembar-gembor keburukan rokok tapi ujung-ujungnya cuma dorong pengendalian.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit