Press ESC to close

Rak Display Rokok di Kota Bogor Diberi Cadar, Demi Menutupi Apa?

Tirai dengan warna mencolok yang menutupi rak rokok pada sejumlah mini market di Bogor jelas satu tindakan yang mengolok-olok akal sehat masyarakat. Terutama konsumen. Baik konsumen rokok maupun yang bukan. Rokok jadi seakan-akan (diposisikan) lebih eksklusif dari produk lainnya yang juga memiliki risiko.

Dalm konteks pemberlakuan aturan ini Pemkot Bogor adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Jika kemudian terlontar pertanyaan konyol dari masyarakat semacam ini; segitu ‘sensualnya’ gitu rokok sampai rak display-nya diberi cadar segala. Bukankah fenomena penyalahgunaan obat batuk sasetan juga perlu disikapi serius, kenapa hanya terhadap rokok keseriusan itu dicitrakan. Luputkah Pemkot Bogor menangkap problem depresi sosial apa yang tengah diidap masyarakat?

Iya, sesuatu yang ‘sensual’ itu adalah yang berhubungan dengan kenikmatan yang bersifat naluri. Manusia sejak dalam kandungan, terhitung minggu ke-19 memang sudah mendapat satu kenyamanan dari keahlian mengisap. Mengisap jempol tentunya, ini salah satu yang naluriah sekali. Itu makanya, seorang ibu tidak perlu memaksakan diri untuk menyodorkan puting atau ekstrimnya menutup puting dari kebutuhan naluriah sang bayi. Mestinya Pemkot Bogor juga tidak perlu memaksakan diri begitu kalau ujung-ujungnya bakal meloloskan produk pengganti rokok.

Bagi sang ibu, balita yang masih mengisap jempol sampai usia tertentu sering diartikan sebagai bocah yang membawa ‘kebiasaan buruk’. Yang kemudian berusaha dialihkan secara bertahap, salah satunya dengan memasukkan pacifier (empeng) ataupun botol dot ke mulut balitanya.

Baca Juga:  YLKI, Rokok, dan Menteri Sosial

Apa yang dilakukan Pemkot Bogor bisa dibilang sebagai perlakuan yang serupa dengan ibu terhadap ‘balita’ (baca: masyarakat kotanya) yang dianggap membawa ‘kebiasaan buruk’. Padahal masyarakat tidak segitunya, bahwa merokok sebagai pilihan dewasa adalah produk yang dikonsumsi dengan rasa tanggung jawab. Masyarakat dewasa sudah bisa menalar secara bijak, bahwa apapun yang dijadikan dalih atas aturan itu hanyalah logika isapan jempol belaka.

Lantaran yang diterapkan dengan cara itu yang justru akan semakin menguatkan rasa penasaran orang untuk ingin lebih tahu, ada kepentingan apa sih di balik gencarnya Pemkot Bogor yang demikian konyol mendiskriminasi rokok. Misalnya saja, terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), kenapa tidak disertai juga taat asas untuk pula menyediakan tempat merokok di dalamnya. Kan itu lebih memberi solusi, namun upaya pengadaan tempat merokok di KTR ini saja diabaikan. Alih-alih demi menjunjung hidup sehat, hak legal perokok yang dikorbankan. Ada apa coba?

Padahal gampang saja toh, kalau memang kotanya ingin dicitrakan sebagai kota yang sehat, jangan beri kesempatan rokok masuk Kota Bogor. Jangan ada yang jualan rokok sekalian. Tutup saja akses distribusinya.

Jika dalihnya adalah untuk membatasi angka perokok pemula, iya bukan dengan cara semacam itu. Masih ada cara yang lebih edukatif dan tidak mengolok-olok kewarasan konsumen. Beri pemahaman yang intensif, jangan malah mengekslusifkan rokok dengan cara yang seolah-olah itu satu-satunya upaya bijak; ritel rokok tetap bisa berjualan agar tetap dapat diserap pajaknya, tetapi usahanya juga diusili demi mewujudkan target absurd titipan rezim kesehatan. Kan ngehek.

Baca Juga:  Liburan Ala Klopp

Terlihat betul akal-akalan rezim muka dua ini, jelas tidak mendewasakan masyarakat sama sekali. Yang ada malah nanti meningkatnya perilaku menyimpang, dengan diberi tirai begitu ya malah memicu rasa penasaran anak di bawah umur untuk mencoba rokok yang (terkesan) dibuat eksklusif itu, bukan mustahil keahlian mimikri yang Pemkot Bogor berlakukan akan dipakai; bermain muka dua. Di depan orang tua manggut-manggut sopan, di luar pengawasan mereka justru ngebul bersama genk-nya.

Apakah dengan memberi tirai pada semua rak display rokok, maka semakin menurun angka perokok di Kota Bogor? Boleh jadi. Karena pilihan mereka bukan lagi ngebul pakai rokok. Di luar produk legal rokok, masih ada produk konsumsi lain–entah itu berasap ataupun tidak–yang lebih berisiko dan bisa didapat dengan mudah, bahkan digadang-gadang lebih sensasional.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah