Press ESC to close

Betapa Kerdilnya Pikiran Antirokok yang Menuduh Anak Perokok Berisiko Kerdil

Papa saya bukanlah perokok, berkebalikan dengan mama saya. Bagi mama, merokok hanyalah selingan saja. Saya tidak terlalu kerap melihatnya merokok, apalagi di luar rumah. Kecuali mungkin jika bersama teman-teman pergaulannya di kala menunaikan ritus minum kopi.

Saya tumbuh dengan wajar dan tak ada yang ganjil dari pertumbuhan fisik maupun mental saya sebagai anak mama yang perokok. Demikian pula adik saya. Meski tak selalu jadi bintang kelas, sejak SMP saya sudah dikenal sebagai anak yang memiliki banyak bakat. Terutama di bidang yang menuntut keterampilan, sementara adik saya lebih menggemari aktivitas olahraga.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu, mama sudah mengingatkan saya, jika kelak saya suka merokok pastikan uangnya adalah hasil dari keringat sendiri. Tidak ada aturan yang terlalu berlebihan menyoal rokok di keluarga kami. Tamu yang merokok di rumah kami pun patuh pada aturan penggunaan ruang yang sudah dikondisikan. Para tamu merokok di beranda rumah.

Sejak masih sekolah pun saya sudah kenal merokok, jaman sebatang joinan, hal yang lazim pada remaja sebaya saya di masa itu. Meski pernah diingatkan sama mama, daripada merokok di luar rumah terus malah ugal-ugalan. Mama justru menawarkan saya untuk merokoknya di rumah saja, tetapi terus terang malah jadi segan saya.

Baca Juga:  Pemerintah Wajib Peduli Pada Pengembangan Budidaya Tembakau

Konyolnya di abad milenial ini, ada hasil kajian yang menyebutkan kalau anak perokok berisiko mengidap stunting. Kabarnya itu didapat dari hasil temuan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia. Disebutkan bahwa anak perokok mengalami gangguan pertumbuhan pada berat dan tinggi badannya, memiliki perawakan pendek alias kerdil. Konyol betul memang. Sudah perokoknya distigma negatif, keturunannya pun digadang-gadang berisiko kerdil pula.

Sepanjang pengamatan saya, sejak punya anak pertama dan disusul anak kedua, tidak ada yang terlihat merisaukan dari pertumbuhan fisik maupun mental anak-anak saya. Bahkan setelah dikaruniai anak yang ketiga, ketiganya tumbuh dengan wajar. Kalaupun ada ciri kenakalan, hanyalah kenakalan lazimnya anak-anak. Masih bisa diperingatkan dan menerima dengan baik aturan yang berlaku. Anak-anak saya dikenal juga sebagai siswa-siswi berprestasi di sekolahnya.

Jika ada sebagian orang, sebut saja di antaranya antirokok, yang menuduh bahwa orangtua yang merokok tidak akan mampu memenuhi secara adil kebutuhan gizi anak-anaknya. Sehingga keturunannya bakal terdampak stunting. Jelas ini melecehkan etos kepemimpinan seorang perokok. Saya jadi curiga malahan, kok ya makin kerdil saja cara-cara rezim antitembakau ini menakut-nakuti perokok.

Baca Juga:  Rajin Olah Raga Justru Baik Bagi Perokok

Apa antirokok ini tidak memetik pelajaran dari kehidupan Bung Karno, Haji Agus Salim, Pramoedya Ananta Toer, Fuad Hassan. Tokoh-tokoh jempolan Indonesia. Haiya, coba itu bagaimana dengan pertumbuhan anak-anaknya Pak Hanif Dhakiri dan Ibu Susi Pudjiastuti, menteri yang perokok pada Kabinet Kerja.

Saya orang yang dididik dalam kesederhanaan sejak kecil. Meski kedua orangtua saya bisa saja mengajari saya hidup bermewah-mewah. Sekali lagi, merokok bukanlah suatu kemewahan di keluarga kami. Menu makan kami sehari-hari cukup variatif dan sederhana. Etos kesederhanaan itu pula yang saya dan ibunya anak-anak terapkan di rumah, sampai hari ini. Etos itulah mungkin yang bikin pikiran kami tak sekerdil mereka yang dirasuk kurikulum rezim antitembakau. Wallahu A’lam Bishawab.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah